Indonesia kaya akan kriya yang beragam, baik itu kriya yang berkenaan dengan tekstil, keramik, perhiasan, perabotan, dan masih banyak lagi. Melimpahnya sumber daya alam dan rasa keinginan yang kuat untuk berkarya guna menyambung hidup adalah contoh alasan dari pesatnya perkembangan kriya di Indonesia.
Akan tetapi dengan meningkatnya ketertarikan global terhadap perubahan iklim pada era pasca globalisasi, dunia sedang mencari pendekatan alternatif model ekonomi yang menjunjung keberlangsungan lingkungan, ekonomi dan kebudayaan melalui kerajinan, serta pencarian model ekonomi baru yang bersifat sirkular dan kolaboratif. Apakah industri kriya dapat terus berkembang dan secara bersamaan mempraktekkan pendekatan alternatif seperti di atas?
Sebagai bagian dari program Crafting Futures, British Council Indonesia menjalankan kampanye bertajuk #WhyIMake – sebuah kampanye global yang bertujuan untuk menyorot para perajin dan desainer Indonesia yang sudah mencoba menerapkan prinsip ekonomi sirkular dalam praktik mereka. Kami berbincang-bincang dengan sepuluh perajin dan desainer Indonesia yang mengaplikasikan material inovatif atau material yang didaur ulang pada karya mereka, serta pandangan mereka terhadap isu keberlanjutan.
Tiap perajin dan desainer yang kami wawancara tentu memiliki pendekatan berbeda dalam menerapkan prinsip ekonomi sirkular. Ada yang sudah memiliki bekal ilmu dari riset yang dilakukan secara mandiri dan ada pula yang berangkat dari ketertarikan pada suatu material limbah spesifik dan mengembangkannya menjadi material dengan nilai lebih. Material yang digunakan oleh para perajin dan desainer ini pun beragam, seperti bahan-bahan alami, limbah yang sulit untuk terurai, dan juga material baru yang diciptakan di laboratorium. Keberagaraman pendekatan oleh tiap perajin dan desainer ini membuktikan bahwa tidak ada satu pendekatan spesifik yang mutlak dalam menjalankan prinsip ekonomi sirkular.
Para perajin menyadari bahwa limbah, khususnya limbah alami dalam jumlah besar mempunyai potensi untuk dijadikan bahan baku karya bila diolah dengan tepat. Namun, adanya langkah ekstra yang perlu dilakukannya dalam proses pengolahan, membuat masyarakat enggan melakukannya. Berkat dorongan dari para perajin dan desainer, masyarakat mulai terbuka untuk mulai mendaur ulang limbah alami menjadi produk baru. Sebagai contoh, Dyah Retno (Devetroo Studio) – seorang perajin keramik yang membuat keramik dari tanah limbah; Gusti Cakramurti (Lokaprana) – seorang desainer yang membuat sebuah produk multifungsi dari bahan dasar kayu bekas; dan Diah Kusumawardani (Kusuma Craft) – seorang desainer tekstil yang memanfaatkan limbah makanan sebagai pewarna tekstil.
Limbah anorganik juga menimbulkan kekhawatiran bagi para perajin dan desainer yang kami wawancara. Belakangan ini, banyak orang-orang yang membeli pakaian hanya untuk sesekali dipakai lalu dibuang, guna mengikuti tren yang kian berganti. Melihat isu limbah tekstil yang berujung menumpuk di tempat pembuangan akhir, Diana Rikasari membiasakan dirinya untuk mendaur ulang pakaian lamanya. Sebagai penulis dan desainer yang terkenal dengan pakaian berwarna cerah dan bermotif ceria, Diana beranggapan bahwa mendaur ulang pakaian juga dapat menambahkan cerita di balik pakaian yang ia buat.
Berkaitan dengan isu serupa, kami juga mewawancarai Aryenda Atma (Pable) yang bergerak di bidang pengolahan limbah tekstil. Dengan bantuan peralatan pabrik dan kerjasama dengan komunitas penenun di Pasuruan, Pable mendaur ulang limbah tekstil dalam jumlah besar menjadi gulungan benang baru yang kemudian ditenun menjadi lembaran kain oleh para penenun.
Tidak hanya limbah tekstil, tempat pembuangan akhir juga banyak diisi oleh limbah plastik. Melihat masyarakat yang masih erat dengan pola hidup konsumtif, Natasha Dian (Papelpack) menyadari bahwa ada peningkatan penggunaan kemasan plastik oleh pedagang online, khususnya selama pandemi COVID-19. Sebagai alternatif, Natasha dan rekannya Michelle menciptakan kemasan alternatif dari bahan kertas dengan fungsi serupa dengan plastik gelembung. Begitu pula di Selong Belanak, Lombok; dimana Elissa Gjertsson (Plastik Kembali) resah akan adanya pembludakan limbah plastik di daerah pantai. Dengan memakai konsep yang dicetuskan oleh organisasi Precious Plastic , Elissa mendaur ulang plastik menjadi suatu produk baru. Atas hasil kerjasama dengan komunitas lokal, Elissa berhasil membuat berbagai jenis variasi produk kerajinan tangan dengan bahan dasar plastik.
Di saat dimana sumber daya alam sudah banyak yang langka di tempat-tempat tertentu, wajar jika para perajin dan desainer mulai mencari bahan alternatif sebagai bahan dasar untuk produk mereka. Berawal dari tesis pascasarjana, Denny R. Priyatna (AIEVL) mengembangkan produk-produk bersifat konseptual dan eksperimental. Denny mencoba mengkontradiksi suatu hal yang tidak umum dengan menggunakan teknik eksploratif serta menggunakan material inovatif seperti busa dan serbuk gergaji. Kami juga mewawancarai Arka Irfani (Bell Society) yang memproduksi vegan leather dengan bantuan jamur sebagai alternatif dari kulit sapi. Vegan leather ini memiliki tekstur yang cukup tebal dan fleksibel menyerupai kulit sapi sehingga bisa digunakan sebagai bahan dasar untuk aksesoris sehari-hari.
Prinsip ekonomi sirkular tidak bisa dinilai baik hanya berdasarkan jumlah limbah yang berhasil didaur ulang. Masihbanyak pelaku ekonomi sirkular yang mengesampingkan faktor-faktor lain seperti pengadaan bahan dasar yang mereka pakai, proses pembuatannya, dan sebagainya. Bahan dasar yang dipakai bisa saja bersifat ramah lingkungan, namun terkadang produsen tidak transparan terhadap proses pembuatan dan bagaiamana mereka melakukan pengangkutan dan pengiriman produknya. Oleh karena itu, pengolahan secara lokal juga merupakan faktor penting dalam prinsip ekonomi sirkular. Berkaitan dengan isu ini, kami mewawancarai Rama dan Romy (Rear Window) – sepasang desainer kembar yang mendaur ulang perabot tua. Dalam prosesnya, mereka melakukan intervensi desain dan meresponnya dengan suatu kebaruan atau gaya dan memberikan nilai tambah sehingga menjadi daya tarik bagi perabot itu sendiri. Elemen-elemen yang ditambahkan pun adalah hal-hal yang mudah di dapat dari produsen lokal sehingga meminimalisir emisi karbon.
Simak wawancara lengkap yang kami lakukan dengan sepuluh perajin dan desainer sebagai bagian dari #WhyIMake!