By Tim UK/Indonesia 2016-18

19 December 2018 - 14:30

Di tahun kedua kerjasama kolektif asal Semarang Grobak Hysteria dengan kolektif asal Inggris Creative Black Country, pendiri Hysteria Akhmad Horidin - yang lebih dikenal sebagai Adin Hysteria - mengibaratkan kolaborasi keduanya lewat program 100 Masters of Semarang sebagai fase pacaran setelah kolaborasi mereka tahun lalu yang menyulap beberapa titik bersejarah di Semarang dengan teknologi realitas tertambah atau augmented reality. “Lewat kolaborasi 100 Masters of Semarang ini, rasanya sekarang kami sudah pacaran,” canda Adin saat diwawancarai di depan instalasi video profil para insan yang terpilih untuk program tersebut di Hotel Monopoli Jakarta sebagai bagian dari The Other Festival.

Seperti layaknya sebuah hubungan romantis, jalan menuju 100 Masters of Semarang tidak selalu mulus. “Proses diskusi untuk menentukan siapa saja yang layak masuk program ini memang membutuhkan waktu cukup lama. Pasalnya, kami harus memetakan warga yang ahli dalam membuat ini-itu sebelum kemudian memilih, menyortir dan memutuskan mengapa memilih mereka dan bukan yang lain,” jelas Adin tentang program yang diinisiasi oleh Creative Black Country untuk para insan kreatif di daerah mereka.

Meskipun begitu, Adin mengaku menikmati kolaborasi dengan Creative Black Country sejauh ini, terlebih dengan kepergiannya ke konferensi Creative People and Places di Wolverhampton pada bulan Juni lalu. “Di sana saya bertemu dengan banyak pelaku kreatif dari seluruh penjuru Inggris serta belajar bagaimana Inggris mengembangkan industri kreatif di luar kesenian dan bagaimana pemerintah Inggris memberikan dana besar untuk membuat proyek-proyek kreatif,” cerita Adin. 

Lewat pengalaman tersebut, Adin juga belajar tentang perbedaan antara industri kreatif di Inggris dan Indonesia. “Di industri kreatif Indonesia jelas ada lebih banyak kebebasan, karena di sini memang sifatnya lebih independen. Sebagai dampaknya, di Indonesia tidak banyak yang ambil bagian dalam berseni karena penuh risiko,” pendapatnya. Dengan kurangnya dukungan pemerintah Indonesia terhadap industri kreatif, Adin juga mengatakan bahwa para insan kreatif yang mampu bertahan adalah orang-orang terpilih. “Meskipun pemerintah Indonesia kurang peduli terhadap industri kreatif, ada lebih banyak keleluasaan di situ karena para pelaku industri tidak tergantung pada penyandang dana.”

Salah satu cara kolektif kreatif seperti Hysteria mampu bertahan adalah dengan berkolaborasi dengan organisasi seni dan budaya seperti British Council. “Lewat kerjasama kami dengan British Council selama ini, kami ingin membuktikan bahwa kami adalah rekan kreatif yang serius dan strategis. Impian kami tidak muluk-muluk: kami ingin menjadi satu kelompok kreatif yang stabil di Semarang dan memiliki pengaruh terhadap ekosistem kota,” tegasnya, seraya menambahkan bahwa Semarang belum memiliki jaringan kreatif atau atase kebudayaan seperti kota-kota besar lainnya di Pulau Jawa. “Pada akhirnya, saya pikir nanti British Council juga bisa ambil kredit dan membuktikan kedigdayaannya di luar Jakarta, sehingga dampaknya pun akan lebih kuat dan strategis,” tandas Adin.