Dengan menumpang kereta selama sekitar 40 menit dari Nottingham, saya tiba di Sheffield, sebuah kota yang terletak antara kawasan Midlands dan Yorkshire, untuk menghadiri Sheffield Documentary Film Festival atau Sheffield Doc Fest. Festival film dokumenter ini merupakan yang terbesar di Inggris Raya dan merupakan yang salah satu yang terbesar di dunia. Diselenggarakan sejak tahun 1994, festival ini diadakan pada bulan Juni, dihadiri oleh sekitar 20-27 ribu orang. Sebanyak 160 film dokumenter panjang diputar dan puluhan acara diskusi sepanjang penyelenggaraan. Tahun ini festival dibuka dengan film terbaru Michael Moore, Where to Invade Next? dan sang sutradara yang kontroversial itu datang menghadiri pembukaan.
Saya datang kemari disponsori oleh British Council Indonesia, bersama dengan anggota delegasi Indonesia lainnya. Mereka adalah Amanda Marahimin (produser), Suryani Liauw (programmer dan produser film), Levina Wirawan (British Council) dan Alia Damaihati (Festival Film Dokumenter Yogyakarta). Dua orang dari Badan Ekonomi Kreatif juga hadir, Fajar Hutomo, deputi akses permodalan Bekraf dan ibu Hanifah.
Festival dibuka tanggal 10 Juni 2016, pada malam hari di City Hall. Namun sejak pagi kegiatan sudah mulai tampak. Festival dipusatkan di Showroom Cinema, sebuah bioskop independen di kota Sheffield. Bioskop itu juga berdekatan dengan kawasan Sheffield Hallam University, universitas utama di kota Sheffield. Kawasan ini hanya berjarak 3 menit berjalan kaki dari stasiun kereta Sheffield.
Maka, bukan hanya mudah ditemukan, para delegasi yang datang khusus ke Sheffield untuk menghadiri acara akan dengan merasa bahwa festival ini amat terasa kehadirannya di kota itu dengan umbul-umbul di sepanjang jalan, serta papan reklame raksasa di beberapa tempat strategis yang memajang gambar festival. Yang menarik dari gambar reklame itu adalah: mereka memajang wajah para tokoh film dokumenter. Terlihat wajah sutradara kondang Michael Moore, artis Tilda Swinton (akan menghadiri penutupan festival) berjajar bersama nama yang tidak terlalu seperti Reggie Yates (ia sedang naik daun karena program-programnya di BBC Three) dan Professor Green (penyanyi rap yang membawakan program-program dokumenter untuk orang muda, juga di BBC Three).
Tentu sebagaimana festival film lain, atau bahkan film itu sendiri, perlu ada nama besar dan bintang yang relatif dikenal publik agar kegiatan kebudayaan seperti ini bisa terhubung dengan banyak orang. Namun wajah orang-orang ini mengisi ruang publik yang mencolok itu juga menjadi tanda pertumbuhan para bintang dan personality film dokumenter untuk menjadi tambatan aspirasi publik.
Tak bisa dilupakan bahwa festival ini diadakan di Inggris, negeri yang punya David Attenborough, pembuat film dokumenter yang terpilih untuk menjadi ikon Inggris Raya, mengalahkan mahabintang seperti David Beckham atau The Beatles. Film dokumenter sudah lama menjadi bagian dari pendidikan, kesadaran dan elemen pembangun indetitas Inggris Raya. Bukan hanya BBC (terutama BBC Two dan BBC Four) yang rutin menyiarkan film dokumenter, saluran lain seperti Channel 4 dan ITV juga berlimpah dengan program dokumenter. Ketiga lembaga penyiaran besar itu berlomba tampil di Sheffield Doc Fest, seakan ingin menegaskan bahwa film dokumenter masih jauh dari musim paceklik.
Pada edisi ke 23 ini, Sheffield Doc Fest menghadirkan 29 world premiere (pertamakali diputar), 14 international premiere (pertamakali diputar di luar negara produksi) dan 20 European premiere (pertamakali diputar di Eropa). Catatan saja, premiere ini biasanya dijadikan dasar ukuran kelas sebuah festival – tentu disamping para tamu dan kegiatan-kegiatan sampingannya. Tahun ini dua pembuat film dijadikan fokus: Ken Loach – sutradara sosialis Inggris – dan almarhum Chantal Akerman yang meninggal dunia tahun ini.
Di hari pertama, belum banyak yang saya lakukan. Selain menonton film Ken Loach, The Spirit of ’45 (2012) yang diputar di ruang terbuka (diberi nama Beijing Screen on Howard Street), saya sempat melihat Author: The JT LeRoy Story (Jeff Feuerzig, 2016). Film Ken Loach bercerita tentang kebangkitan Inggris sebagai negara sosial democrat sesudah Perang Dunia Kedua, melalui rangkaian nasionalisasi, hingga keruntuhannya di bawah Margaret Tatcher yang melakukan privatisasi terhadap berbagai lembaga ekonomi dan pelayanan publik. Sedangkan JT LeRoy menceritakan kisah kompleksnya sebuah pseudonym yang berkelindan dengan publikasi dan dunia selebritas. Saya akan menulis kesan menonton film ini secara terpisah.
Sejauh ini, saya sudah memesan tiket untuk beberapa pertunjukan, serta meniatkan diri menghadiri beberapa perbincangan, termasuk yang bertajuk Viva La Revolucion: Video Activism and Citizen Journalism yang akan membicarakan video-activism, documenter panjang dan format interaktif yang tersebar dari Inggris Raya, Mesir dan Yunani.