Apa yang dilakukan oleh delegasi dari Indonesia di Sheffield?
Mengapa ada delegasi Indonesia di Sheffield Documentary Film Festival 2016, sedangkan tidak ada film Indonesia yang diputar di sini, maupun ikut menjajagi pendanaan*?
Saya, Amanda Marahimin, Suryani Liauw, dan Alia Damaihati berangkat dengan dana gabungan. British Council membayari untuk penginapan dan allowance, dan Bekraf memberi Mandy, Suryani dan Alia biaya perjalanan, dan saya membeli tiket kereta sendiri.
Selain kami, ada Levina Wirawan dari British Council yang bertugas memfasilitasi kami selama di Sheffield, dan dua orang dari Badan Ekonomi Kreatif Fajar Hutomo (Deputi Akses Pendanaan) dan Hanifah Makarim (Kepala Sub Direktorat Dana Masyarakat).
Sependek ingatan saya, rasanya baru pertamakali ada rombongan Indonesia datang ke sebuah festival film dokumenter dalam jumlah sebesar ini sebagai satu rombongan, tanpa ada film yang diputar ataupun masuk dalam pitching forum. Mandy membenarkan hal itu. Para pelaku film dokumenter biasanya berkeliling festival secara pribadi, dengan dana hasil pencarian sana sini.
Lalu mengapa British Council mau membayari sebagian perjalanan ini?
Jane Showell dari British Council di London mengatakan bahwa keputusan itu diambil sesudah mendengarkan masukan mengenai posisi film dokumenter yang selama ini berada di pinggiran. Mengingat film dokumenter termasuk dalam bidang yang tercantum pula di dalam nota kesepahaman antara Pemerintah Inggris dan Indonesia, maka ia merasa perlu mendukung kegiatan terkait film dokumenter.
Selain itu, British Council sendiri memiliki agenda yang ia lihat sangat cocok dengan festival di Sheffield ini. Jane menyebut perhatian utama terhadap tema perkembangan teknologi digital, akses bagi kaum difabel, dan keterlibatan kaum muda sebagai prioritasnya dan ia melihat kuatnya beberapa proyek yang dipajang di Alternate Reality di Sheffield 2016 sangat tepat untuk kebutuhan itu. Secara khusus ia menyebut proyek virtual reality berjudul Note on Blindness (tentang perjalanan seorang secara pelan-pelan menuju kebutaan) dan In My Shoes (tentang pengalaman seorang pengidap epilepsi). Ia melihat kemungkinan membawa kedua proyek itu ke Jakarta untuk ditampilkan. Jane berharap akan muncul proyek yang berkaitan dengan penggunaan teknologi digital dan terkait akses terhadap difabel dari kunjungan ke Sheffield ini.
Apa yang dapat dilakukan untuk membangun ekosistem bagi 'produk pinggiran' seperti film dokumenter?
Sedangkan Fajar Hutomo dari Bekraf menyatakan keberangkatan mereka yang utama adalah untuk mempelajari sistem pendanaan film dokumenter, dan sejauh yang ia jelaskan pada saya, ia mengaku mempelajari bagaimana membangun ekosistem untuk film dokumenter.
“Sejauh ini yang terpenting adalah membangun ekosistem. Jika ada dana dari pemerintah, itu akan menjadi seed capital agar ini tumbuh bisa menjadi industri. Bagaimana agar pasokan talent terjamin, terus ada dan terus meningkat kualitasnya, juga mereka bisa bertemu dengan pasar. Juga eksebisinya. Itu yang perlu kita bangun agar bisa menghidupi diri sendiri,” - Fajar Hutomo.
Fajar sendiri mengaku bahwa Bekraf siap untuk memberikan dukungan lebih besar. Ini diperlihatkan dengan keterlibatan mereka di festival ini, serta dukungan dana perjalanan bagi anggota delegasi dari Indonesia. Sedangkan untuk membantu mengerahkan pihak yang akan terlibat dalam ajang seperti pitching forum film dokumenter, Bekraf akan segera bisa melakukannya tahin ini.
“Bagaimana suasana yang ada di sini bisa ditangkap di Indonesia. Ada pitching, mentoring, master class, itu akan sangat membantu,” kata Fajar.
Menanggapi pernyataan Bekraf, produser film dokumenter Suryani Liauw menyatakan bahwa sebagai pekerja film dokumenter ia merasa sudah mengerjakan tugasnya.
“Kami di Indocs membuat program Dare to Dream untuk memilih filmmaker dan mendatangkan mentor untuk produksi dan pendanaan. Sekarang tinggal menunggu Bekraf menjalankan peran untuk mendatangkan para pendana ikut dalam pitching forum di kegiatan kami,” kata Suryani.
Mandy Marahimin mengakui inisiatif dari Bekraf ini penting dan patut dihargai. Namun ia mengingatkan bahwa masalah film dokumenter di Indonesia sangat rumit. Film yang bisa diproduksi dengan baik belum tentu bisa mendapat distribusi dan apresiasi yang memadai.
“Padahal itu penting agar filmmaker bisa membuat film lagi tanpa tergantung akses yang disediakan pemerintah terus menerus,” katanya.
Terlebih lagi, Mandy mengungkapkan penonton Indonesia yang tidak terlatih menonton film dokumenter.
“Jangankan untuk menonton film dokumenter seperti yang ditayangkan di Sheffield, bahkan untuk film fiksi saja, mereka mungkin akan kesulitan lantaran kebiasaan terpapar tontonan di televisi Indonesia yang bahasa visualnya terlalu kasar.”
“Banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan,” ujar Mandy.
———
*) Proyek Daniel Ziv yang berjudul Hijab Nation terpilih secara resmi untuk dijajakan di meatmarket untuk mencari pendana. Dan ia berangkat dengan dana sendiri untuk keperluan ini.
Catatan kemungkinan konflik kepentingan: British Council membayar untuk hotel dan memberi allowance selama saya di Sheffield. Selain itu, saya adalah salah satu anggota board of directors In-Docs yang tidak terlibat dalam operasional langsung, tetapi turut memberi masukan terhadap program In-Docs.