Jogja Disability Arts dan DaDaFest menginisiasi PRISM, sebuah proyek penelitian dan diseminasi dua negara tentang seni disabilitas.
Seni disabilitas memegang peranan penting dalam mengungkapkan nilai dan cerita yang unik. Tak hanya untuk mengapresiasi, seni disabilitas membuka jalan pemahaman, wadah ekspresi, serta upaya pemberdayaan yang inklusif bagi para penyandang disabilitas. Menyambut semangat ini, Jogja Disability Arts (JDA, Indonesia) dan DaDaFest (Inggris) menginisiasi proyek PRISM: Understanding The Spectrum of Meaning in Disability Arts Collaborations.
Dengan menerapkan metode Participatory Action Research (Penelitian Aksi Partisipatif), PRISM berupaya mengkaji makna dan daya kolaborasi seni bagi seniman penyandang disabilitas. Proyek ini terbagi menjadi beberapa tahap, yaitu lokakarya, seminar dan pameran, dengan durasi kurang lebih sepuluh bulan. Dalam setiap tahapnya, JDA dan DaDaFest berupaya menciptakan ruang aman bagi para seniman partisipan untuk merefleksikan, merekonstruksi makna, serta membagikan pengalaman dengan peserta lain demi mengartikulasikan identitas mereka.
Mengupayakan Kesetaraan Penyandang Disabilitas melalui Seni
Baik JDA dan DaDaFest (juga disebut DaDa) memiliki visi yang serupa dalam memberi ruang setara bagi praktisi kreatif dengan disabilitas. Berdiri pada 2020, JDA berupaya membuka partisipasi dan kesempatan penuh bagi penyandang disabilitas dalam bidang seni budaya di tingkat nasional dan internasional. JDA membuka partisipasi seniman disabilitas yang lebih bermakna dengan membentuk situasi sosial dalam ekosistem seni yang setara dan inklusif di Indonesia.
JDA memiliki program-program rutin termasuk acara tahunan Festival Suluh Sumurup yang memamerkan karya seni dari seniman disabilitas di Indonesia serta meningkatkan kesadaran publik terhadapnya, serta Jogja Disability Arts Biennale yang memamerkan karya seni dari seniman disabilitas nasional dan internasional demi berkontribusi dalam kampanye seni disabilitas di taraf global. Hingga saat ini, JDA telah terlibat dalam berbagai kegiatan kolaborasi dengan seniman nasional dan internasional, baik dengan latar belakang disabilitas maupun non-disabilitas.
Serupa dengan JDA, DaDaFest pun berupaya menjangkau jejaring internasional. Didirikan pada tahun 1984, DaDaFest adalah salah satu organisasi seni yang dipimpin oleh penyandang disabilitas pertama di Inggris dan merupakan bagian penting dalam kampanye kesetaraan dan akses yang lebih besar bagi para seniman penyandang disabilitas di seluruh sektor seni.
DaDaFest juga berbentuk festival seni dua tahunan yang membina dan mendukung banyak seniman penyandang disabilitas dari Inggris, sekitarnya, maupun internasional. DaDa terus melanjutkan misi keadilan sosial, mengkampanyekan perubahan, serta mengeksplorasi cara-cara baru untuk memungkinkan para seniman penyandang disabilitas menciptakan karya yang menantang, menghibur, juga kuat.
Memahami Ragam Sudut Pandang Penyandang Disabilitas
Demi mengeksplorasi cerita dan pengalaman personal seniman penyandang disabilitas, JDA dan DaDaFest menyelenggarakan lokakarya Body Mapping di Yogyakarta pada Mei 2024 dan di Liverpool pada September 2024. Melalui pertanyaan panduaan sederhana, para peserta termasuk disabilitas tuli, daksa dan netra diajak untuk menggali, merefleksikan, dan mengilustrasikan pengalaman dan cita-citanya. Lokakarya ini difasilitasi oleh Triarani Utami, Nano Warsono, Rachel Rogers dan Ngozi Ugochukwu.
Melalui gambar-gambar ini, para inisiator maupun sesama penyandang disabilitas dapat memahami sudut pandang dan artikulasi personal setiap seniman. Baik JDA dan DaDaFest menganggap bahwa kegiatan ini berfungsi sebagai jembatan sekaligus intervensi untuk meningkatkan pembelajaran, proses reflektif, keterlibatan, dan partisipasi yang lebih bermakna.
Menghadirkan Karya Seniman Disabilitas bagi Publik
Demi mendistribusikan karya dan membuat pengalaman penyandang disabilitas lebih tampak di hadapan publik, proyek ini juga memamerkan hasil Body Mapping dalam tiga acara yang berbeda, yaitu Suluh Sumurup Art Festival 2024, pameran Warna-Warna (2024), dan pameran Akar Rasa Setara di Equalitera Art Space (2024). Karya yang tampil termasuk milik Edi Priyanto, I Made Jery Juliawan, Salsatul Hidayah, Sukri Budi Dharma, Winda Karunadhita, Wiji Astuti, dan Zakka Nurul Giffani Hadi.
Selain pameran, proyek ini juga mengadakan bincang-bincang, yaitu seminar mini bersama Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada (PSPR UGM), bincang seni di Suluh Sumurup Art Festival 2024, bincang-bincang di Bluecoat, Liverpool, hingga presentasi dan bincang di Dia.Lo.Gue, Jakarta.
Seni sebagai Identitas dan Ruang Kebersamaan
Dari lokakarya, bincang-bincang dan pameran, proyek ini belajarr bahwa kegiatan seni dapat memperlihatkan identitas penyandang disabilitas yang dirasakan secara individual maupun dimiliki bersama di antara para seniman.
Proyek-proyek seni ini pun dapat memberikan kesempatan para seniman penyandang disabilitas untuk mengekspresikan diri, menjembatani apresiasi, meningkatkan empati, serta menantang representasi atau stereotip arus utama tentang disabilitas.
Peran Kolaborasi dalam Seni Disabilitas
Kolaborasi menjadi aspek penting dalam PRISM. Menimbang bahwa sebagian besar seniman penyandang disabilitas bekerja dan berkarya dalam ruang yang terisolasi, individual, dan minim akses, kolaborasi dapat membuka peluang akses, meningkatkan keterampilan dan pengetahuan, pembelajaran kolaboratif, serta proses lain di mana setiap seniman dapat mengartikulasikan perasaan dan gagasannya.
Kolaborasi seni disabilitas yang bermakna pun membutuhkan proses yang dirancang dengan cermat demi menjalin kepercayaan, ruang yang aman untuk interaksi yang tulus, serta mendorong para seniman untuk menjadi bagian dalam pengambilan keputusan dalam berbagai tahap kolaborasi. Hal ini termasuk dalam mengelola ekspektasi terhadap hasil dari proses kolaborasi, serta komitmen yang diperlukan dari semua pihak untuk mencapainya.
Terlebih, proyek ini melibatkan dua negara di mana sejarah dan apresiasi terhadap seni dan disabilitasnya berbeda. Menimbang situasi yang berbeda, JDA beranggapan bahwa “tidak seperti di Inggris di mana seni disabilitas berkembang dalam konteks sejarah yang kuat, dan dari apa yang kami pahami, memiliki aspek aktivisme yang kuat di dalamnya, perkembangan seni disabilitas di Indonesia masih relatif baru. …
JDA percaya bahwa seni disabilitas menawarkan cara yang kuat untuk mengadvokasi dan mengatasi tantangan-tantangan tersebut, dengan kelonggaran, adaptasi, dan kemampuannya untuk memicu imajinasi dan pengalaman, yang mampu memupuk empati dan solidaritas, sebagai nilai yang mendasari jika kita ingin menciptakan dampak yang berkelanjutan.”
Peluang Masa Depan
Proyek PRISM telah membuka peluang-peluang kerja sama baru. Serentetan kegiatan baru telah dilaksanakan dan akan dilaksanakan di tahun 2025. Pada Desember 2024, PRISM berpartisipasi dalam berpresentasi dan mengadakan lokakarya dalam kegiatan Breaking Barriers oleh The British Council di Jakarta.
Pada Maret 2025, PRISM berpartisipasi dalam bincang-bincang daring sebagai bagian dari perayaan ulang tahun ke-40 DaDaFest, di mana JDA dan DaDa juga sedang sedang menjajaki kemungkinan proyek seni mural di Liverpool sebagai bagian dari acara ini. Lalu pada Oktober 2025, PRISM akan berpameran di Jogja International Disability Arts Biennale #3.
Selain itu, PRISM juga berupaya mencanangkan penelitian lanjut serta mengembangkan format dan media baru untuk mendistribusikan hasil penelitian. Hal ini memperlihatkan bahwa distribusi pengetahuan dan karya menjadi bagian penting dalam menyebarluaskan pemahaman dan apresiasi bagi seni disabilitas.