Sejak 1977, Fusion Arts telah menghubungkan seniman dengan masyarakat. Wadah ini mempromosikan proyek-proyek kreatif yang mendorong keadilan sosial dan merayakan keragaman melalui kegiatan artistik yang partisipatif di Oxford dan sekitarnya.
Kini pada 2024, Fusion Arts berkolaborasi dengan Soboman Artspace Collective (Yogyakarta) dalam sebuah proyek kolaborasi di Great Big Green Week 2024 (8-16 Juni 2024). Proyek ini bertujuan untuk membawa praktik budaya Indonesia yang unik ke audiens internasional yang lebih luas.
Mempelajari Ulang Kebijaksanaan Tradisi
Proyek ini menjelajahi tradisi cowongan melalui pameran seni imersif bertajuk Tetiten Swarane Tandur atau Hear the Seeds Sing. Cowongan adalah sebuah ritual pengundang hujan oleh masyarakat Banyumas (Jawa Tengah, Indonesia), terutama oleh para petani yang mengalami kemarau panjang. Masyarakat Banyumas percaya bahwa Dewi Sri, atau yang dikenal sebagai Dewi Padi serta simbol kemakmuran, adalah sosok yang menurunkan hujan dan menumbuhkan padi.
Kalimat Tetiten Swarane Tandur, atau terjemahan harfiahnya “Dengarlah Suara (untuk) Menanam,” adalah sebaris pertanda bagi para petani untuk mulai menggarap lahan dan bercocok tanam. Namun masyarakat petani kini menghadapi ironi bahwa tidak ada lahan untuk digarap.
Menyikapi masalah lingkungan ini, pameran Tetiten Swarane Tandur or Hear the Seeds Sing hendak menyoroti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan keadilan lahan dari sudut pandang petani di Indonesia. Manajer Pemasaran Fusion Arts, Feng Ho, dan Manajer Produksi Soboman Artspace, Alya Gunara, telah bekerja sebagai representatif kedua kolektif untuk mewujudkan proyek ini.
Mengingat kembali proses persiapan kolaborasi ini, Feng Ho menceritakan hal yang personal. “Perjalanan ‘Hear the Seeds Sing’ sangat personal bagi saya,” katanya. “Saya terhubung dengan Munir (Soboman Artspace) melalui Instagram lebih dari dua tahun yang lalu. Saya tertarik dengan karya seninya dan semangat kami yang sama untuk aktivisme dan seni.”
Atas hasil dari koneksi ini, enam anggota Soboman Artspace Collective menjalani residensi di Oxford, termasuk seniman Munir Al Sachroni, Clesia Christine, Sarjono, penulis Ribka Barus, dan juru dokumentasi Deden Ardiansyah.
Mural sebagai Pusat Pameran
Pameran ini menghadirkan sebuah mural sepanjang 10 meter sebagai pusatnya. Pada saat pembukaan, Soboman Artspace membuatnya setengah jadi agar dapat diselesaikan secara bersama-sama termasuk pengunjung demi mendorong percakapan antara penduduk setempat dengan seniman Indonesia. Partisipasi ini menekankan pentingnya tanggung jawab bersama terhadap bumi.
Selain mural, ada pula instalasi patung Dewi Sri serta audio yang membuat pameran ini kian imersif.
Fusion Arts dan Soboman Artspace juga berkolaborasi mengadakan beberapa program lain, termasuk diskusi panel. Harvesting Change: Art, Activism, and Food Security in the Climate Crisis menampilkan para penulis, seniman, dan aktivis dari Oxford dan Yogyakarta. Diskusi ini mengeksplorasi berbagai cara merawat hubungan antara inisiatif Global Selatan dengan Global Utara, serta menekankan pentingnya pertukaran kebudayaan di hadapan isu-isu lingkungan yang mengkhawatirkan.
Merayakan Lintas Budaya dan Komunitas
Mendukung pameran, ada beberapa lokakarya yang memperkenalkan budaya lokal. Clesia Christine (Soboman Artspace) memandu lokakarya batik Indonesia di mana para peserta belajar membatik dengan teknik tradisional untuk memahami signifikansi budayanya.
Lokakarya kedua adalah penulisan puisi dalam dua bahasa. Khairani Barokka memimpin lokakarya menulis puisi dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk menyoroti kekuatan bahasa dalam mengekspresikan tema-tema lingkungan dan budaya, yang menghasilkan sebuah koleksi puisi-puisi.