By Ibrahim Arimurti Rashad, Editor dan Penerjemah, berdasarkan tulisan dari esea contemporary

10 July 2025 - 13:18

 Instalasi pameran Clayground oleh Jatiwangi art Factory di esea contemporary. © Dok. oleh Jules Lister.
Deskripsi gambar: Instalasi pameran Clayground oleh Jatiwangi art Factory di esea contemporary. © Dok. oleh Jules Lister. ©

© Dok. oleh Jules Lister.

 

esea contemporary bekerja sama dengan Elgea Balzarie dari Jatiwangi art Factory untuk membuat proyek Clayground yang mengangkat isu keadilan lingkungan dan agraria lintas wilayah. 

Tradisi di tiap-tiap negara memiliki kekhasan tapi juga kesamaan. Ketika dua tradisi dipertemukan, timbul percakapan tentang kebersamaan dan harapan ke depan. Hal ini tampak pada proyek Clayground (2024) yang diinisiasi oleh  esea contemporary dan Elgea Balzarie dari Jatiwangi art Factory.

Dalam mempersiapkan Clayground, Balzarie terlebih dahulu menjalani masa residensi  selama dua minggu yang disertai tiga lokakarya publik, lalu hasilnya dipamerkan di esea contemporary selama satu bulan pada Agustus 2024. 

Clayground berupaya mengangkat isu-isu mendesak tentang lingkungan dan keadilan agraria di tingkat lintas regional melalui pertukaran budaya antara Jatiwangi dan Manchester.

Wadah Pengembangan Seni dan Budaya Asia

Sebelum lanjut membicarakan Clayground, kita berkenalan dengan para kolaborator yang memiliki fokus mengangkat seni dan budaya daerah. esea contemporary (esea, 1987) adalah satu-satunya pusat seni nirlaba di Inggris yang menghadirkan dan mempromosikan seniman dan praktik seni yang mengidentifikasi dirinya, dan diinformasikan oleh, latar belakang budaya Asia Timur dan Tenggara (ESEA). 

esea kini bertujuan untuk menghadirkan praktik seni kontemporer dari komunitas Asia Timur dan Tenggara serta diasporanya melalui pameran, komisi, penelitian, residensi, penerbitan, dan berbagai acara publik. 

Di lain pihak, Jatiwangi art Factory (JaF, 2005) adalah komunitas yang menjadikan praktik seni kontemporer dan budaya sebagai bagian dari wacana kehidupan lokal di daerah pedesaan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. 

Kegiatan-kegiatan JaF selalu melibatkan masyarakat setempat dan mencakup pameran, festival, residensi hingga diskusi. Sebagai kawasan penghasil genteng terbesar di Asia Tenggara, JaF menginisiasi proyek Kota Terakota yang menandai awal budaya tanah liat baru bagi Jatiwangi, merancang ulang kota berdasarkan keinginan masyarakat dan kesepakatan kolektif. 

Sebagai bagian dari JaF, Elgea Balzarie tinggal dan bekerja di Jatiwangi. Balzarie adalah direktur Lovegood Productions, sebuah organisasi yang didedikasikan untuk penelitian psikologi positif dan mempromosikan kesehatan mental di kalangan remaja Jatiwangi. 

Balzarie juga menjadi ko-koordinator Proyek Hutan Kolektif Perhutana, sebuah inisiatif reklamasi lahan hutan untuk melindunginya dari pembangunan industri, serta mengeksplorasi model ekonomi alternatif yang berakar pada praktik budaya tradisional dan pengetahuan ekologis.

Eksplorasi Tanah Lintas Daerah

esea memfasilitasi Balzarie di setiap langkah residensi dan persiapan lokakarya. Balzarie mengunjungi studio seniman keramik berbasis Manchester, Sarah Fraser, yang pernah menjalani masa residensi di JaF tepat sebelum pandemi Covid-19, di mana Fraser mengeksplorasi cara perempuan mengekspresikan dan menghadapi tantangan terkini melalui ekspresi keramik yang mengacu pada warisan arsitektur keramik di Leeds dan Jatiwangi. 

Di kunjungan ini, Balzarie dapat memahami ragam material dari Manchester, serta mengaitkannya dengan teknik dan pemahamannya sendiri mengenai sifat tanah liat yang berbeda yang akan menjadi bahan lokakaryanya di esea.

Seri lokakarya ini bertajuk Clayground: Hear, Touch, Taste. Dengan Balzarie sebagai pengampunya, lokakarya ini menyoroti praktik artistik di pedesaan dengan menyoroti Jatiwangi sebagai wilayah produksi genteng terbesar di Asia Tenggara dan menghubungkannya dengan Manchester, kota industri pertama di dunia. 

Lokakarya ini memperkenalkan cara pembuatan suling tanah liat, yang berpusat pada pendengaran, pembuatan masker kulit dari tanah liat yang berfokus pada sentuhan, dan berakhir dengan sesi memasak yang melibatkan cecap. 

Melalui proses ini, esea sebagai fasilitator dapat mengalami keseharian lokal yang organik, seperti dengan berbelanja dan memasak bersama. Lokakarya ini memberikan wawasan yang berharga melalui presentasi Balzarie serta pertukaran pengetahuan dan penciptaan kolaboratif.

Elgea Balzarie memimpin pembuatan seruling dari tanah liat.
Deskripsi gambar: Elgea Balzarie memimpin pembuatan seruling dari tanah liat.
Elgea Balzarie dan para peserta lokakarya berpose untuk foto dengan mengenakan masker wajah dari tanah liat.
Deskripsi gambar: Elgea Balzarie dan para peserta lokakarya berpose untuk foto dengan mengenakan masker wajah dari tanah liat.
Elgea Balzarie memimpin lokakarya yang melibatkan kegiatan memasak dan makan bersama.
Deskripsi gamber: Elgea Balzarie memimpin lokakarya yang melibatkan kegiatan memasak dan makan bersama.
Suasana instalasi pameran Clayground yang mempresentasikan hasil lokakarya tanah liat. © Dok. oleh Jules Lister.
Deskripsi gambar: Suasana instalasi pameran Clayground yang mempresentasikan hasil lokakarya tanah liat. © Dok. oleh Jules Lister. ©

© Dok. oleh Jules Lister.

Pameran sebagai Ruang Pertukaran 

 

Setelah lokakarya, esea dan Balzarie mengadakan pameran pasca-residensi. Pameran ini menjadi perayaan yang menampilkan hasil-hasil kreasi peserta lokakarya disertai dengan objek-objek orisinal JaF. Adapun film yang ditayangkan, yaitu Masyarakat Tanah Berbunyi (2018) oleh Almanoka A. & Kiki Permana dari JaF, dan Jatiwangi/The Scent of Jati Trees (2018) oleh George Clark. 

Pameran ini lantas menjadikan ide ‘Clayground’ sebagai ruang bersama berskala besar yang mengundang pengunjung untuk mendengar, menyentuh dan merasakan objek tanah liat sebagai simbol dan representasi budaya lokal Jatiwangi, sekaligus memperdalam pemahaman akan pentingnya ruang kolektif. 

Kolaborasi menjadi aspek penting dalam proyek ini. esea menyatakan bahwa kurasi bersama (co-curating) menjadi moda kerja baru bagi program-program pameran dan publiknya. esea dan Balzarie telah bekerja sama dalam merancang pameran, mementingkan rasa percaya dan laju komunikasi agar menciptakan kolegialitas yang tak hanya antarindividu atau institusi, tapi juga antarbudaya. Kebiasaan-kebiasaan seperti berbagi kudapan Indonesia dan Inggris di sela waktu luang pun terhitung sebagai cara mempelajari budaya masing-masing.  

Peluang Jejaring Antarkomunitas 

Melihat pentingnya keberlanjutan pasca-pameran, esea mencari peluang untuk membangun jejaring antara pedesaan di Indonesia dan komunitas-komunitas di Inggris. esea berencana untuk mengintegrasikan hasil dan dampak Clayground ke dalam program intinya dengan memastikan berkelanjutan pada kesadaran lingkungan, pertukaran budaya, dan inovasi artistik. “Memamerkan materi dari Jatiwangi art Factory dan menyoroti praktik berkelanjutan mereka telah memberikan wawasan yang berharga kepada audiens Inggris tentang praktik lingkungan di Indonesia,” anggapnya. 

esea juga berupaya untuk lanjut bercakap dengan George Clark, seorang seniman, penulis, dan kurator, yang selama sepuluh tahun terakhir telah mengembangkan proyek-proyek transnasional yang menjelajahi moda-moda pertukaran, kolaborasi dan dialog baru. Pada 2018, Clark, bersama Ismal Muntaha, Bunga Siagian dan Will Rose, menginisiasi West Java West Yorkshire Cooperative Movement, sebuah proyek kolaboratif yang hendak membuka peluang kreatif antara Jawa Barat, Indonesia, dengan Yorkshire Barat di Inggris. 

Menimbang hasil positif dari residensi, esea hendak mencari peluang mengadakan lokakarya, proyek penelitian bersama, serta inisiatif interdisipliner baik secara tatap muka maupun daring demi melampaui batas-batas fisik dan geografis. 

Pertukaran Budaya sebagai Ajang Transformatif

Clayground telah menciptakan berbagai ide dan dialog yang dapat berpeluang menciptakan inisiatif artistik dan kuratorial dalam skala global baru. esea beranggapan bahwa sepanjang proyek, “kami mengalami keinginan bersama untuk pertukaran budaya dan perspektif, memotivasi kami untuk mencari lebih banyak peluang untuk memfasilitasi wadah percakapan antara Inggris dan Indonesia.” 

Clayground adalah ajang transformatif di mana pertukaran budaya sangat menonjol di tiap-tiap prosesnya, terkhususnya mengenai budaya dan praktik artistik di Jatiwangi.