Bridging Cities menghadirkan enam penulis dari Exeter dan Jakarta sebagai kota UNESCO Cities of Literature untuk membahas krisis iklim melalui sastra.
UNESCO Cities of Literature, yang merupakan bagian dari program UNESCO Creative Cities Network, kini telah menjaring 53 kota yang berlokasi di 39 negara. Pada 2019, kota Exeter meraih gelar City of Literature dan menjadi satu-satunya kota dengan penghargaan ini di selatan Inggris. Selang dua tahun, Jakarta pun meraih gelar serupa dan sejauh ini menjadi satu-satunya City of Literature di Asia Tenggara. Pada 2024, kedua kota ini berkolaborasi melalui program Bridging Cities terkhususnya untuk mengangkat isu-isu krisis iklim melalui karya sastra.
Bridging Cities didukung oleh hibah Connections Through Culture dari British Council. Program ini mengundang dan mengkomisi enam penulis—tiga berbasis di Exeter dan tiga berbasis di Jakarta—untuk membuat karya yang menjelajahi berbagai dampak krisis iklim berdasarkan pengalaman lokal mereka. Penulis tersebut adalah Shin Alex (Jakarta), Ysella Sims (Exeter), Shoba Dewey Chugani (Jakarta), Swarnim Agrawal (Exeter), Daveenaar (Jakarta) dan Dr Charles Mansfield (Exeter).
Dalam proses kreatifnya, setiap penulis dipasangkan dengan mentor berpengalaman untuk mendapatkan umpan balik serta bimbingan. Setiap penulis pun dihubungkan dengan penulis dari kota lain secara daring untuk bercakap, bertukar dan terkoneksi secara kreatif. Adapun Bridging Cities mengundang seniman untuk merespons setiap karya tulis dengan karya ilustrasi untuk memperkaya pengalaman membaca setiap karya.
Mencerminkan semangat UNESCO Cities of Literature yang ingin mempromosikan karya sastra dan keragaman budaya, Bridging Cities pun menerjemahkan setiap karya ke dalam bahasa Indonesia atau Inggris, demi melunturkan sekat bahasa atau budaya, serta menjadikan sastra sebagai pengalaman dan pemahaman bersama.
Cerita Rakyat sebagai Inspirasi
Para penulis mengolah cerita dan lingkungan lokal ke dalam karya-karya cerita pendek (cerpen) mereka. Shin Alex, misalnya, terinspirasi dari kisah rakyat Jawa, yaitu Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari. Jika tokoh utama pada cerita aslinya adalah Jaka Tarub, maka pada cerita Alex, “Legenda Bidadari: Kisah Sebenarnya”, tokoh utamanya adalah seseorang bernama Jack dan salah satu dari tujuh bidadari, Nawangwulan. Keduanya sama-sama berjuang untuk mendapatkan air bersih ketika dunia dilanda kekeringan. Jack membutuhkan air untuk ibunya yang sakit, sedangkan Nawangwulan membutuhkan air dari bumi untuk menjaga keseimbangan semesta.
Shin Alex, sebagai penulis emerging yang lahir dan tinggal di Jakarta, gemar menulis kisah-kisah fantasi remaja dan anak-anak. “Legenda Bidadari: Kisah Sebenarnya” terjadi di latar belakang dunia distopia beberapa tahun setelah pandemi COVID-19. Meskipun latar belakangnya ada di masa depan, cerita ini meggambarkan situasi lingkungan yang terjadi hari ini, terkhususnya air sungai Ciliwung, Indonesia, yang kotor dan tercemar.
“Saya memilih ini karena siapa pun yang membacanya harus berpikir bahwa hal itu mungkin terjadi suatu hari nanti dan tidak begitu jauh,” kata Alex. “Hal itu bisa terjadi di mana kita mengalami kekurangan air dan segala sesuatu yang Anda butuhkan di tahun-tahun mendatang jika kita tidak benar-benar merawat lingkungan.”
Ysella Sims, yang karya-karyanya menjelajahi hubungan manusia dan alam, pun beranjak dari cerita rakyat dalam ceritanya, “The Last Swallow.” Di Abad Pertengahan, burung layang-layang konon muncul dari lumpur setelah hibernasi, dan mereka adalah pembawa kabar musim semi. Namun pada “The Last Swallow,” burung layang-layang kian jarang muncul setelah sebelumnya sering sekali muncul karena kondisi alam yang kian rusak dan tanah yang menimbun plastik.
Sims juga melambangkan burung layang-layang sebagai penyeberang batas, dan bagaimana manusia seharusnya dapat bekerja sama dan menemukan solusi, terkhususnya dalam menghadapi kerusakan alam.
Dari cerita Alex dan Shin, pembaca dapat melihat bagaimana cerita rakyat mengandung nilai-nilai kebajikan yang dapat diolah menjadi karya sastra yang membahas isu-isu iklim.