By Ibrahim Arimurti Rashad, Editor dan Penerjemah, berdasarkan tulisan dari Liv Hooper, Exeter City of Literature

17 July 2025 - 13:19

Publikasi resmi untuk program Bridging Cities Exeter x Jakarta sebagai Cities of Literature.
Deskripsi gambar: Publikasi resmi untuk program Bridging Cities Exeter x Jakarta sebagai Cities of Literature.

Bridging Cities menghadirkan enam penulis dari Exeter dan Jakarta sebagai kota UNESCO Cities of Literature untuk membahas krisis iklim melalui sastra.

UNESCO Cities of Literature, yang merupakan bagian dari program UNESCO Creative Cities Network, kini telah menjaring 53 kota yang berlokasi di 39 negara. Pada 2019, kota Exeter meraih gelar City of Literature dan menjadi satu-satunya kota dengan penghargaan ini di selatan Inggris. Selang dua tahun, Jakarta pun meraih gelar serupa dan sejauh ini menjadi satu-satunya City of Literature di Asia Tenggara. Pada 2024, kedua kota ini berkolaborasi melalui program Bridging Cities terkhususnya untuk mengangkat isu-isu krisis iklim melalui karya sastra.

Bridging Cities didukung oleh hibah Connections Through Culture dari British Council. Program ini mengundang dan mengkomisi enam penulis—tiga berbasis di Exeter dan tiga berbasis di Jakarta—untuk membuat karya yang menjelajahi berbagai dampak krisis iklim berdasarkan pengalaman lokal mereka. Penulis tersebut adalah Shin Alex (Jakarta), Ysella Sims (Exeter), Shoba Dewey Chugani (Jakarta), Swarnim Agrawal (Exeter), Daveenaar (Jakarta) dan Dr Charles Mansfield (Exeter).

Dalam proses kreatifnya, setiap penulis dipasangkan dengan mentor berpengalaman untuk mendapatkan umpan balik serta bimbingan. Setiap penulis pun dihubungkan dengan penulis dari kota lain secara daring untuk bercakap, bertukar dan terkoneksi secara kreatif. Adapun Bridging Cities mengundang seniman untuk merespons setiap karya tulis dengan karya ilustrasi untuk memperkaya pengalaman membaca setiap karya. 

Mencerminkan semangat UNESCO Cities of Literature yang ingin mempromosikan karya sastra dan keragaman budaya, Bridging Cities pun menerjemahkan setiap karya ke dalam bahasa Indonesia atau Inggris, demi melunturkan sekat bahasa atau budaya, serta menjadikan sastra sebagai pengalaman dan pemahaman bersama. 

Cerita Rakyat sebagai Inspirasi 

Para penulis mengolah cerita dan lingkungan lokal ke dalam karya-karya cerita pendek (cerpen) mereka. Shin Alex, misalnya, terinspirasi dari kisah rakyat Jawa, yaitu Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari. Jika tokoh utama pada cerita aslinya adalah Jaka Tarub, maka pada cerita Alex, “Legenda Bidadari: Kisah Sebenarnya”, tokoh utamanya adalah seseorang bernama Jack dan salah satu dari tujuh bidadari, Nawangwulan. Keduanya sama-sama berjuang untuk mendapatkan air bersih ketika dunia dilanda kekeringan. Jack membutuhkan air untuk ibunya yang sakit, sedangkan Nawangwulan membutuhkan air dari bumi untuk menjaga keseimbangan semesta.

Shin Alex, sebagai penulis emerging yang lahir dan tinggal di Jakarta, gemar menulis kisah-kisah fantasi remaja dan anak-anak. “Legenda Bidadari: Kisah Sebenarnya” terjadi di latar belakang dunia distopia beberapa tahun setelah pandemi COVID-19. Meskipun latar belakangnya ada di masa depan, cerita ini meggambarkan situasi lingkungan yang terjadi hari ini, terkhususnya air sungai Ciliwung, Indonesia, yang kotor dan tercemar. 

“Saya memilih ini karena siapa pun yang membacanya harus berpikir bahwa hal itu mungkin terjadi suatu hari nanti dan tidak begitu jauh,” kata Alex. “Hal itu bisa terjadi di mana kita mengalami kekurangan air dan segala sesuatu yang Anda butuhkan di tahun-tahun mendatang jika kita tidak benar-benar merawat lingkungan.” 

Ysella Sims, yang karya-karyanya menjelajahi hubungan manusia dan alam, pun beranjak dari cerita rakyat dalam ceritanya, “The Last Swallow.” Di Abad Pertengahan, burung layang-layang konon muncul dari lumpur setelah hibernasi, dan mereka adalah pembawa kabar musim semi. Namun pada “The Last Swallow,” burung layang-layang kian jarang muncul setelah sebelumnya sering sekali muncul karena kondisi alam yang kian rusak dan tanah yang menimbun plastik. 

Sims juga melambangkan burung layang-layang sebagai penyeberang batas, dan bagaimana manusia seharusnya dapat bekerja sama dan menemukan solusi, terkhususnya dalam menghadapi kerusakan alam. 

Dari cerita Alex dan Shin, pembaca dapat melihat bagaimana cerita rakyat mengandung nilai-nilai kebajikan yang dapat diolah menjadi karya sastra yang membahas isu-isu iklim.

Penulis Shin Alex (Jakarta) dan Ysella Sims (Exter) berdiskusi dalam sesi pertemuan daring sebagai bagian dari program Bridging Cities.
Deskripsi gambar: Penulis Shin Alex (Jakarta) dan Ysella Sims (Exter) berdiskusi dalam sesi pertemuan daring sebagai bagian dari program Bridging Cities.
Penulis Shoba Dewey Chugani (Jakarta) dan Swarnim Agrawal (Exeter) dipasangkan dalam sesi pertemuan daring sebagai bagian dari program Bridging Cities.
Deskripsi gambar: Penulis Shoba Dewey Chugani (Jakarta) dan Swarnim Agrawal (Exeter) dipasangkan dalam sesi pertemuan daring sebagai bagian dari program Bridging Cities.
Penulis Dr Charles Mansfield (Exeter) dan Dwianti Aviantari, yang dikenal sebagai Daveenaar (Jakarta), bertemu dalam sesi pertemuan daring sebagai bagian dari program Bridging Cities.
Deskripsi gambar: Penulis Dr Charles Mansfield (Exeter) dan Dwianti Aviantari, yang dikenal sebagai Daveenaar (Jakarta), bertemu dalam sesi pertemuan daring sebagai bagian dari program Bridging Cities.
Program Bridging Cities dipamerkan di Frankfurt Book Fair 2024.
Deskripsi gambar: Program Bridging Cities dipamerkan di Frankfurt Book Fair 2024.

Hubungan Manusia dengan Alam

Bridging Stories juga menekankan betapa masyarakat bergantung pada alam sekitarnya. Dalam puisinya, “Climate Chaos — Every Action Counts!,” Shoba Dewey Chugani menggambarkan kehidupan manusia yang mengkhawatirkan ketika bencana dan kerusakan alam terjadi di mana-mana, baik melalui perspektif manusia urban, maupun masyarakat adat. Chugani bercerita bahwa, “Setiap kali saya membaca artikel tentang perubahan iklim, tentang hutan, selalu kembali pada fakta bahwa di Indonesia ada masyarakat adat yang sangat terdampak oleh perubahan iklim.” 

Sedangkan Swarnim Agrawal, yang datang ke Exeter dari India pada 2022 untuk belajar, merefleksikan hubungan pribadinya dengan alam. Seberapapun India memiliki keanekaragaman hayati yang kaya, Agrawal menjalani kehidupan kota. Perpindahannya ke Exeter memberi perspektif baru bagi Agrawal dalam memandang alam, dan menyadari bahwa alamlah yang mengikat dirinya ke tanah Exeter. Dalam karyanya, “Steps. Reflection. Rebellion.,” Agrawal menceritakan pengalaman dan kedekatannya dengan alam baik di Allahabad, India, maupun Exeter.

Dari karya Chugani dan Agrawal, pembaca dapat memahami bagaimana pengalaman personal seseorang dengan alam dapat bersifat universal melalui kekuatan karya sastra.

Dampak Pembangunan Urban bagi Manusia dan Lingkungan

Karya sastra pun dapat menggambarkan bagaimana pembangunan kota yang berlebihan dapat berdampak buruk bagi lingkungan. Dalam cerpennya yang berjudul “Gunung Sampah Merangsek Jakarta” yang ditulis bersama dengan Mardyah Chamim, Dwianti Aviantari atau Daveenaar menceritakan nasib buruk nelayan akibat reklamasi dan penumpukan sampah di daerah Teluk Jakarta. Dan pada akhirnya, gunung sampah tersebut menyebar ke daerah-daerah perkotaan. 

Sementara Dr. Charles Mansfield telah berpartisipasi dalam sebuah residensi penulis yang mengeksplorasi sistem pertahanan banjir perkotaan di Plymouth. Residensi ini menghasilkan catatan-catatan yang menginspirasi ceritanya untuk program Bridging Cities. Ceritanya, “Millbay and Mill Bay,” memiliki dua alur cerita yang saling terkait, satu di masa kini dan satu di masa lalu, dan keduanya dihubungkan oleh sebuah buku dan lokasi tertentu. Perubahan lanskap Plymouth—stasiun Millbay, hotel baru, peta kota—menyoroti bagaimana tempat-tempat dapat berkembang, namun tetap menyimpan masa lalu.

Berdasarkan cerita-cerita ini, karya sastra memiliki peran krusial dalam menyoroti dan mengkritisi dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan serta masyarakatnya. 

Karya Sastra sebagai Perayaan akan Kemanusiaan

Anna Cohn Orchard, Direktur Eksekutif, Exeter UNESCO City of Literature, menyatakan bahwa “Bridging Cities bukan sekadar pertukaran kata-kata antara penulis dari Jakarta dan Exeter—ini adalah perayaan akan kemanusiaan kita yang bersama. Di dunia yang terkadang terasa terpisah oleh geografis, budaya, atau keadaan, proyek ini mengingatkan kita pada ikatan bersama yang kita miliki, terlepas dari di mana kita tinggal.” 

Seperti namanya, Bridging Cities telah menjembatani para penulis untuk bertemu, bercerita, mendengar dan belajar dari satu sama lain. Menjahit narasi-narasi personal para penulis dengan krisis iklim yang nyata adanya menjadi ragam bentuk karya sastra, Bridging Cities membuka percakapan tentang dua City of Literature UNESCO dengan tantangan lingkungannya masing-masing. 

Meski Exeter dan Jakarta terpisah jarak ribuan mil, karya-karya sastra keenam penulis di program Bridging Cities telah memperlihatkan pembaca tentang masalah universal yang dihadapi manusia kini, dalam hal ini adalah krisis iklim, dan bagaimana karya sastra dapat menciptakan hubungan empati antara sesama penulis, maupun dengan pembacanya, di manapun mereka berada.