Mulai dari produksi hingga distribusi, pandemi COVID-19 tak pelak meredam seluruh rantai industri film dalam skala global. Meskipun begitu, Flatpack (Inggris) dan Sahabat Seni Nusantara atau SSN (Indonesia) mampu membuktikan bahwa sinema berkualitas, dan semangat mereka yang membawanya ke khayalak ramai, tak pernah mati, terlebih di saat publik haus akan tontonan bermutu.
Proyek Urban Legends dimulai selama musim dingin yang panjang dan suram pada tahun 2020 dan 2021, ketika situasi pandemi di Inggris sedang memburuk dan publik tak lagi antusias dengan praktik menonton film secara online.
Bagi Flatpack dan Sahabat Seni Nusantara (SSN), saling terhubung meski terpisahkan oleh perbedaan waktu selama enam jam dan cuaca yang bertolak belakang—pagi yang dingin di London, sore yang gerah di Jakarta—tak bisa dipungkiri menjadi angin segar.
Lewat serangkaian dialog yang hidup, kedua kelompok ini membahas panjang lebar tentang situasi syuting film di negara masing-masing, film-film horor dan legenda urban, budaya Islam, kuliner, tata kota dan banyak lagi.
Dipertemukan dan dimediasi oleh Produser Kreatif SHOUT Festival Adam Pushkin, sesi dialog ini membuat tim Flatpack memahami lebih dalam tentang etos yang mendasari budaya komunitas film di Indonesia serta bagaimana cerita rakyat tradisional dan agama Islam berbaur dalam budaya Indonesia. Di sisi lain, SSN juga belajar banyak tentang seluk beluk masyarakat dan budaya Birmingham.
Seiring bergulirnya musim semi dan musim panas di tahun 2021, menerjemahkan dialog ini menjadi sebuah aktivitas konkret ternyata menjadi tantangan tersendiri akibat kondisi pandemi yang tidak menentu. Periode tersebut bisa dibilang sebagai periode hibrida yang aneh, mengingat di kala itu acara online dan offline secara teori bisa saja dilaksanakan meski dengan risikonya masing-masing: acara offline berpotensi menimbulkan kerumitan dan risiko kesehatan, sementara kebanyakan orang semakin malas mengikuti acara online karena sudah terlalu lama mengendon di dalam rumah.
Masalah logistik juga menjadi tantangan utama. Minimnya slot yang tersedia di bioskop, sulitnya mendapatkan hak tayang untuk film-film Indonesia serta gangguan komunikasi bolak-balik terjadi karena semua proyek yang sempat terbengkalai itu tiba-tiba hidup kembali. Tak bisa dipungkiri bahwa situasi ini mendorong Flatpack dan SSN tergopoh-gopoh berusaha menyelesaikan segala sesuatunya sambil berangsur-angsur memulihkan diri dari rasa kaget akibat pandemi yang terjadi setahun sebelumnya.
Pada akhirnya, rangkaian kegiatan seperti bincang-bincang bersama Ekky Imanjaya dari SSN, diskusi online dan pemutaran film Kucumbu Tubuh Indahku karya Garin Nugroho berhasil dilaksanakan di musim gugur tahun 2021. Terkait proses pembuatan film yang mendulang banyak pujian dan penghargaan tersebut, Garin mengaku terinspirasi oleh pertemuan budaya Hindu, Islam dan agama-agama lain di Indonesia. Hal ini juga yang mendasari pembauran tema-tema terkait agama, budaya, gender dan seksualitas di film tersebut dan secara tak langsung menggarisbawahi kekayaan sejarah dan budaya bangsa Indonesia.
"Ketika Memories of My Body ditayangkan di India, mereka [penonton] sangat menyukainya, mereka bilang ini merupakan bagian dari sejarah [mereka] juga," ia mengingat. "Akan sangat baik sekali apabila filmya dapat menciptakan ruang berdiskusi antar beragam komunitas di Birmingham."
Di sisi lain, Ekky Imanjaya mengaku bahwa keikutsertaannya dalam panel festival Cine Excess adalah bagian dari misinya untuk mempromosikan sinema dan budaya populer Indonesia dalam konteks global, terutama genre horor pocong.
"Film-film ini masih diabaikan dan dijauhi oleh kebanyakan akademisi di bidang film, jurnalis, dan kritik di Indonesia, apalagi di kontek global," ia menjelaskan. "Mereka meremehkan politik selera para penontonnya. [Tetapi] fakta bahwa film-film pocong ini diproduksi secara masif seharusnya menyoroti sesuatu tentang konsumsi film dan budaya perfilman secara umum."
Kehadiran Garin Nugroho dan Ekky Imanjaya dalam rangkaian acara ini sungguh membantu menampilkan keunikan budaya perfilman di Indonesia kepada penonton di luar negeri, di samping beragam konteks budaya yang mengilhaminya, khususnya yang berkaitan dengan tema Urban Legends.
“Indonesia adalah negeri yang kaya akan keberagaman. Meski sudah lebih dari 70 tahun merdeka, sayangnya belum cukup banyak film Indonesia yang membahas tentang kelompok-kelompok minoritas,” ujar Garin. “Bagi saya, sudah menjadi tugas kita untuk mengembangkan semangat keberagaman tersebut. Dan saya yakin bahwa film adalah media yang mampu membantu agar isu keberagaman dibahas oleh lebih banyak orang di Indonesia.”
Lepas dari berbagai hambatan yang muncul di awal, rangkaian acara ini terbukti berjalan lancar. Di sisi lain, Flatpack dan SSN sama-sama menyetujui bahwa masih ada banyak aspek penyelenggaran yang bisa diperbaiki ke depannya, misalnya seperti mengangkat seorang manajer proyek yang bertugas mematangkan perencanaan acara serta mengelola alur dialog, mengingat keterbatasan platform seperti Zoom dan WhatsApp dalam menyukseskan sebuah kolaborasi internasional.
Di luar itu, baik Flatpack maupun SSN merasa senang mendapatkan kesempatan untuk bekerja sama dan berharap untuk kembali bekerja sama di masa depan secara offline sehingga keduanya bisa bertemu langsung dan meningkatkan kualitas kolaborasi mereka.