British Council berbincang dengan Annisa Rahmania, penari disabilitas (tuli), tentang pandangannya terhadap seni disabilitas di Indonesia dan bagaimana pengalamannya terlibat dalam beberapa kegiatan kesenian disabilitas membuatnya tergerak untuk menyosialisasikan isu disabilitas di Indonesia.
Belakangan ini, sejumlah organisasi di dunia mulai memberikan sorotan kepada tantangan estetika yang sering diajukan oleh seniman disabilitas. British Council adalah salah satu yang aktif mengangkat hal ini, berupaya meningkatkan akses bagi orang-orang dengan disabilitas baik sebagai seniman maupun audiens.
Contohnya adalah ketika British Council mengajak saya untuk turut serta dalam Gala Balet Indonesia ke-2: An Inclusive Dance Event pada September lalu di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Saya adalah seorang penari disabilitas (tuli) yang semangat menyosialisasikan isu disabilitas.
Pasca menamatkan studi Desain Komunikasi Visual, saya aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Pada tahun 2016, saya menjadi delegasi Indonesia dalam program Deaf Youth Leadership Exchange di Amerika Serikat dan Unlimited Festival Disability Arts di London, Inggris. Perjumpaan saya dengan kaum disabilitas dari seluruh dunia pada kedua program tersebut membuat saya terdorong dalam penciptaan kegiatan inklusif di Indonesia.
Saya berpeluang mengamati beragam disabilitas dari berbagai penjuru dunia yang secara mandiri mampu mengakses tempat dan mengeksplorasi diri lewat seni yang inovatif. Pertunjukan yang disambut riuh suara tepuk tangan penonton menjadi impian saya untuk Indonesia; pemandangan tersebut menjadi penantian saya. Dimulai pada saat itu, dengan penuh strategi, saya ingin menerapkan hal yang sama di Indonesia.