By Tim UK/Indonesia 2016-18

18 December 2017 - 13:02

Penampilan Annisa dan kawan-kawan di Jakarta Unlimited: Sama Bisa, Bisa Sama, UK/ID Festival 2017. ©

Dok. British Council

British Council berbincang dengan Annisa Rahmania, penari disabilitas (tuli), tentang pandangannya terhadap seni disabilitas di Indonesia dan bagaimana pengalamannya terlibat dalam beberapa kegiatan kesenian disabilitas membuatnya tergerak untuk menyosialisasikan isu disabilitas di Indonesia. 

Belakangan ini, sejumlah organisasi di dunia mulai memberikan sorotan kepada tantangan estetika yang sering diajukan oleh seniman disabilitas. British Council adalah salah satu yang aktif mengangkat hal ini, berupaya meningkatkan akses bagi orang-orang dengan disabilitas baik sebagai seniman maupun audiens.

Contohnya adalah ketika British Council mengajak saya untuk turut serta dalam Gala Balet Indonesia ke-2: An Inclusive Dance Event pada September lalu di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Saya adalah seorang penari disabilitas (tuli) yang semangat menyosialisasikan isu disabilitas.

Pasca menamatkan studi Desain Komunikasi Visual, saya aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Pada tahun 2016, saya menjadi delegasi Indonesia dalam program Deaf Youth Leadership Exchange di Amerika Serikat dan Unlimited Festival Disability Arts di London, Inggris. Perjumpaan saya dengan kaum disabilitas dari seluruh dunia pada kedua program tersebut membuat saya terdorong dalam penciptaan kegiatan inklusif di Indonesia.

Saya berpeluang mengamati beragam disabilitas dari berbagai penjuru dunia yang secara mandiri mampu mengakses tempat dan mengeksplorasi diri lewat seni yang inovatif. Pertunjukan yang disambut riuh suara tepuk tangan penonton menjadi impian saya untuk Indonesia; pemandangan tersebut menjadi penantian saya. Dimulai pada saat itu, dengan penuh strategi, saya ingin menerapkan hal yang sama di Indonesia.

©

Winoto

Dari kiri ke kanan: Annisa Rahmania, Jo Verrent, Hana Madness. ©

Annisa Rahmania

©

Ballet.id

Namun tentu saja misi tersebut tak bisa terwujud semudah membalikkan telapak tangan. Disabilitas di Indonesia menghadapi tantangan yang datangnya tidak hanya dari lingkungan atau masyarakat tetapi juga dari para penyandang disabilitas itu sendiri. Kerap kali kelompok disabilitas kurang saling berbaur di antara kelompok disabilitas lainnya. Hal ini berpengaruh kepada munculnya konsep berpikir dalam masyarakat untuk mengelompokkan disabilitas berdasarkan kondisi yang disandang, seperti disabilitas sensorik, disabilitas intelektual, disabilitas fisik, maupun disabilitas mental.

Banyaknya masyarakat yang masih salah kaprah terhadap pengertian ‘inklusif’ itu sendiri juga menjadi tantangan. Pemahaman tentang konsep inklusif baru sebatas penerimaan adanya orang dengan disabilitas. Jika dilihat lebih lanjut, sebuah penerimaan harus diikuti dengan tindakan yang berujung kepada pemenuhan akomodasi sesuai dan layak.

Pada kenyataannya, kondisi akomodasi di Indonesia yang diharapkan penyandang disabilitas justru terlewat. Padahal akomodasi yang sesuai dan layak berperan penting dalam menjembatani hubungan di antara individu. Dengan adanya kesesuaian akomodasi, setiap individu mampu bertukar informasi, pengetahuan, bahkan kemampuan karena tiada halangan dalam penyampaian.

Dengan demikian, diperlukan keberanian dan keteguhan dari non-disabilitas juga disabilitas untuk menjalin kerja sama demi mencapai Indonesia yang lebih inklusif. Ini bukan urusan suatu kelompok tertentu saja, tetapi tanggung jawab masyarakat secara menyeluruh.