By Tim UK/Indonesia 2016-18

28 March 2018 - 17:37

[MASS PUBLICATION] COMING SOON!, detil instalasi poster, bagian dari pameran MASS, 6-20 Maret 2018, Cemeti Institute.  ©

Cemeti - Institute for Art and Society

Pada 9 Februari hingga 9 Maret 2018, Edward Gillman dan Marianne Forrest selaku anggota Auto Italia South East telah mengikuti residensi penelitian di Cemeti - Institute for Art and Society di Yogyakarta, Indonesia, berkolaborasi dengan British Council Indonesia. Auto Italia memprakarsai MASS, sebuah proyek berupa pameran di Cemeti (6-20 Maret 2018) serta fanzine yang akan dipublikasikan akhir tahun ini. Sejumlah praktisi seni dari Yogyakarta dan UK turut berkontribusi dalam proyek tersebut. Berikut adalah perbincangan antara Auto italia dan Kepala Kurator Cemeti, Sanne Oorthuizen serta Alec Steadman.

Cemeti: Sebelum kita mulai, kami berikan sedikit konteks: pada awal tahun 2016, bersama dengan British Council Indonesia, kami mengundang Auto Italia untuk residensi penelitian di Cemeti dengan tujuan mengembangkan proyek sebagai bagian dari program Cemeti yaitu Maintenance Works (Januari 2017-Juni 2018). Melalui Maintenance Works, kami meluangkan waktu untuk refleksi publik, mengajukan pertanyaan mendasar tentang di mana kita berada dan ke mana kita mau pergi. Bagian kedua dari Maintenance Works adalah seri pameran berjudul Berbagi yang melibatkan berbagai seniman dan kelompok dengan pendekatan kolaboratif untuk mengembangkan sebuah proyek. MASS karya Auto Italia adalah proyek Berbagi yang kelima. Sejak awal, Auto Italia menggunakan pendekatan yang kolaboratif, tidak hanya dalam arti mereka bekerja bersama sebagai kelompok seniman dengan anggota yang silih berganti seiring berjalannya waktu, tetapi juga dilihat dari setiap proyek mereka yang mengundang kalangan seniman yang lebih luas. Bagi kami hal ini menarik dan mungkin cenderung tidak biasa dalam konteks Eropa. Lebih penting lagi, Auto Italia memiliki pendekatan penciptaan karya yang kritis, eksperimental, dan politis, sejak proses konsepsi, produksi, hingga distribusi kepada publik yang menurut kami akan menginspirasi di konteks lokal Yogyakarta.

Pertama, kami ingin bertanya pada kalian: bagaimana pengalaman kalian selama residensi penelitian di Cemeti Institute, dan bagaimana proses kalian dalam mengembangkan MASS?

Auto Italia South East: Sebelum tiba di Cemeti, kami telah melakukan seluruh penelitian yang bisa kami lakukan secara online ataupun lewat diskusi dengan teman-teman, tetapi kami tidak memiliki ekspektasi tertentu. Tujuan kami dalam residensi singkat ini adalah mencoba menjalin hubungan dengan seniman-seniman di Jogja, walau kami sadar akan kendala yang bisa muncul saat kolaborasi dipaksakan. Kami ingin mencoba menemukan minat dan cara kerja yang sama, serta belajar dari tempat di mana kami hanya pengunjung sementara. Dalam waktu 4 minggu, hal ini sulit. Tapi kami selalu berfokus dalam menciptakan ruang kolaborasi yang terbangun perlahan dan akan terus berlanjut setelah sebulan kami bekerja di kota ini. Tahap pertama tentu saja bertemu dengan para praktisi dan kelompok seni Jogja untuk berusaha memahami kancah lokal. Jogja dikenal sebagai tempat yang penuh kolaborasi, dengan seniman-seniman yang seringkali menjadi anggota dalam beberapa kelompok atau kolektif. Hal yang lebih menarik bagi kami adalah bagaimana kolaborasi bukan hanya sebagai pendekatan DIY untuk merealisasikan sesuatu, tetapi sebagai cara kerja dengan hirarki dan tuntutan tersendiri yang menciptakan bentuk-bentuk karya tertentu dalam komunitas kesenian. Kami juga sangat tertarik untuk bertemu dengan orang-orang dari berbagai disiplin –seniman, desainer, sosiolog, arsitek, kurator– yang juga merupakan inti dari cara kerja kami, dengan pandangan bahwa siapapun yang turut serta dapat berperan sebagai “seniman”.

Cemeti: Bisa ceritakan lebih jauh tentang aspek kolaborasi dalam MASS, baik untuk pameran di Cemeti Institute ataupun fanzine yang akan kalian produksi?

Auto Italia: Hal yang mencuri perhatian kami adalah betapa pentingnya penerbitan dalam kancah seni di Jogja. Banyak seniman yang kami temui berdedikasi tidak hanya pada materi cetak sebagai cara utama dalam berekspresi dan berbagi, tetapi juga untuk memiliki alat produksi seperti printer, risograph, alat sablon dan lain-lain, dan menawarkannya sebagai fasilitas komunitas.Kami mulai melihat banyak kesamaan dengan penelitian dan pertanyaan-pertanyaan yang kami eksplorasi selama setahun ke belakang, terutama tentang potensi politis dan komersil dari subkultur atau fandom, juga ragam tipe berorganisasi dan berbagi yang memilki daya tarik bagi masyarakat luas maupun kelompok-kelompok tertentu. Melalui titik masuk inilah kami mulai mengembangkan MASS, sebagai alat untuk menciptakan kolaborasi dan diskusi dengan diri kami sendiri, seniman-seniman yang kami temui di Jogja, serta kolaborator-kolaborator kami di UK. Dengan begitu, MASS langsung menjadi proyek jangka panjang yang akan berjalan sampai 12 bulan ke depan. Hal ini sangat menarik bagi kami karena memungkinkan kolaborasi untuk terbentuk secara lebih organik, dengan ruang untuk refleksi di sepanjang perjalanan proyek ini. Untuk pameran, yang kami anggap sebagai peluncuran MASS sebagai merek, kami bekerja sama dengan Natasha Tontey, seniman yang berbasis di Jogja, untuk menciptakan keseluruhan identitas dan logo. Kami juga meninjau kembali karya kolaborasi kami dengan seniman asal UK, Pablo Jones Soler, sedangkan musik untuk ruang pameran diciptakan oleh seniman yang berbasis di Jepang, Friend in French (alias Ahmi Kim).

Bertemu Timbil, anggota Lifepatch, Yogyakarta, Februari 2018. ©

Cemeti - Institute for Art and Society

Di balik layar: seniman Natasha Tontey memberikan sentuhan terakhir pada identitas merek dan logo MASS, Cemeti Institute, Februari 2018. ©

Cemeti - Institute for Art and Society

Di balik layar: mencetak poster MASS, Yogyakarta, March 2018. ©

Cemeti - Institute for Art and Society

Jalan masuk Cemeti saat pameran MASS berlangsung. Di paling kanan, dinding informasi Cemeti dengan poster karya Auto Italia, Maret 2018. ©

Cemeti - Institute for Art and Society

Anggota Auto Italia, Edward Gillman dan Marianne Forrest di depan Cemeti - Institute for Art and Society saat baru tiba di Yogyakarta, Februari 2018. ©

Cemeti - Institute for Art and Society

Cemeti: Apa saja minat, kekhawatiran, dan pertanyaan utama kalian dalam proyek MASS?

Auto Italia: MASS memiliki dua tema yang saling terkait. Pertama, daya tarik terhadap budaya fantasi, fiksi ilmiah serta pahlawan, penjahat, dan karakter-karakter dalam budaya populer arus utama (terutama film, fashion, dan media). Berkembangnya narasi, ide, dan simbol dalam arus utama ini menarik untuk dipertimbangkan sebagai respons terhadap meningkatnya konservatisme sosial politik dalam kebijakan publik dan reformasi sosial yang semakin menjadi perbincangan global. Kami tertarik untuk mengimajinasikan ulang identitas budaya yang kami asosiasikan dengan media-media tersebut, utamanya identitas budaya yang pernah dicap berbahaya atau subversif yang berjenis kelamin perempuan (seperti karakter penyihir). Tren film blockbuster  yang memiliki kisah fantasi hingga narasi bertahan hidup pasca-apokaliptik ditonton oleh banyak orang hingga menjadi hits, namun seringkali ceritanya tidak memedulikan akurasi dan justru membebani film seperti karakter yang terlalu Barat dan pria sentris.

Kedua, MASS mempertimbangkan peningkatan tren dalam apa yang kami sebut sebagai “survivalism” atau “neo-survivalism”, sebuah kecenderungan estetika yang dominan menggunakan kiasan visual dan naratif bertahan hidup dalam fashion dan media kontemporer. Contohnya antara lain bagaimana pakaian mendaki semakin digemari sebagai street wear di London, atau bagaimana pria berpenampilan sebagai gladiator pada turnamen digambarkan pada iklan rokok di berbagai penjuru kota Jogja. Contoh-contoh ini terasa seperti gestur yang menolak mengikuti pergerakan global ke kanan –tiap penduduk bisa jadi superhero dengan pengertian masing-masing– namun kita tidak bisa membiarkan kenyataan bahwa semua konten ini dibuat dan disebarluaskan dengan bantuan perusahaan kapitalis. Jadi MASS bertanya komunitas macam apa yang akan terbentuk dan apa saja yang dikorbankan?

Tema-tema yang telah menjadi bahan penelitian jangka panjang kami ini berkembang lebih jauh saat kami tiba di Jogja dan langsung melihat betapa sibuknya kota ini dengan wisatawan dan turis. Kami menjadi sadar akan banyaknya seniman, kurator, dan representatif institusi internasional yang tertarik untuk memasukkan gagasan “kota DIY” ke dalam program kebudayaan di seluruh dunia. We began to understand this extraction along the same lines as this research, and were asking what it meant to commodify notions of DIY, particularly when that creative and social value has been produced within a postcolonial nation. Pada bagian pameran MASS, Anda bisa melihat sejumlah slogan dicetak pada poster yang mengeksplorasi ide ini lebih jauh, disandingkan dengan cetakan loreng dan poster sampul majalah yang menampilkan selebriti yang mencurigakan; satu karakter mirip manusia yang dibuat dengan grafis komputer, dan kepala ayam yang dipenggal. Secara keseluruhan, format dan kerangka konsep proyek ini adalah bertanya bagaimana kita bisa menegosiasikan kolaborasi sambil mengakui strukur dan sistem yang terus mengeksploitasi mereka. Pengembangn MASS dan formatnya menjadi alat bagi kami untuk menolak perpanjangan dari struktur yang mencabut nilai budaya serta kerja keras, dan menciptakan hubungan jangka panjang dengan seniman yang ada  di Jogja juga jaringan kami di UK.