Tahun ini, Indonesia International Book Fair (IIBF) menghadirkan 5 penerbit asal Inggris yang menampilkan repertoar mereka selama lima hari di Planery Hall Jakarta Convention Centre, yang bertujuan untuk menciptakan hubungan lebih dekat antara penulis dan penerbit Inggris dan Indonesia. “Pembaca Inggris mungkin berpendapat bahwa Asia Tenggara adalah pasar yang kecil, namun tidak begitu bagi saya,” ucap Phil Thatam dari Monsoon Books, yang menerbitkan buku-buku bertemakan Asia Tenggara. “Misalnya Indonesia, dengan statusnya sebagai negara keempat terbesar di dunia, ini artinya Indonesia adalah pasar yang sangat besar dan maka dari itu penting. Sejauh ini kami cukup sukses menjual buku-buku kami di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, namun masih sulit melakukan hal serupa di Inggris. Inilah mengapa IIBF adalah kesempatan yang sangat baik bagi kami untuk mengenal lebih banyak penulis asal Indonesia dan berjejaring dengan penerbit Indonesia agar kami dapat membantu menerbitkan karya-karya mereka dalam Bahasa Inggris sehingga dapat menyentuh audiens global dan semakin mengangkat Indonesia sebagai kekuatan literasi yang harus diperhitungkan.”
Senada dengan Phil, Dan Nunn dari penerbit Raintree beranggapan bahwa Indonesia masih belum cukup dipandang di pasar Inggris meskipun memiliki potensi yang luar biasa. “Kebanyakan orang di Inggris mungkin masih belum tahu letak Indonesia di peta. Kebanyakan masih lebih familiar dengan Bali, namun tidak tahu banyak tentang Indonesia,” keluhnya. Inilah mengapa Raintree berfokus menerbitkan buku-buku yang bertemakan kesetaraan gender, agama, ras dan disabilitas. “Audiens utama kami adalah anak-anak berusia 3 hingga 14 tahun, maka dari itu kami ingin semua anak yang membaca buku-buku kami melihat diri mereka terwakilkan. Ini sangat penting bagi anak-anak di Inggris maupun Indonesia agar mereka menyadari bahwa ada dunia yang besar di luar sana,” jelasnya, sekaligus menambahkan bahwa salah satu tujuan utama Raintree lainnya adalah membuat membaca sebuah pengalaman yang menarik dan menyenangkan bagi anak-anak.
Sementara itu, Kube Publishing memiliki tujuan untuk mencari persamaan antara komunitas muslim di Inggris dan Indonesia, terutama dengan posisi Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. “Bagi saya, menarik sekali mengamati berbagai lapisan yang ada di komunitas Muslim kedua negara ini. Inti ajaran agamanya mungkin serupa, namun ada perbedaan besar antara cara keduanya mengaktualisasikan ajaran tersebut, terutama dalam hal praktik dan penampilan,” terang Yosef Smyth, editor buku anak Kube. Dia juga berpendapat bahwa komunitas Muslim di Inggris cenderung lebih konservatif dibandingkan di Indonesia jika ditinjau dari sisi perilaku dan sudut pandang. “Ini dapat dilihat dari cara mereka berlaku, berpakaian, bahkan makan. Saya mendapatkan kesan bahwa komunitas Muslim di Indonesia tidak merasakan tekanan sebesar komunitas Muslim di Inggris untuk terlihat saleh. Bisa jadi ini karena di Indonesia mereka adalah minoritas. Ini pun dapat terlihat dari cara mereka mengkonsumsi buku-buku kami,” ujarnya, seraya mengatakan bahwa pembaca Indonesia lebih menyukai ilustrasi yang berbau Asia. Di sisi lain, pembaca Inggris lebih tertarik dengan desain tradisional yang digambar dengan tangan dan cat air.
Emma Wright, pendiri Emma Press, juga beranggapan bahwa ilustrasi adalah komponen yang penting untuk menarik perhatian pembaca. Dengan fokus menerbitkan buku-buku puisi dengan desain yang indah dan konten yang merangsang pemikiran, Emma meyakini bahwa menciptakan desain yang indah bukan hanya memberikan nilai tambah bagi para pembaca, namun juga mendorong mereka untuk mencoba hal- hal baru. “Pada awalnya, kami bertujuan untuk memproduksi buku-buku yang manis, lucu dan enak dilihat. Seiring berjalannya waktu, kini kami bercita-cita menarik audiens baru dengan tulisan-tulisan yang merangsang pikiran mereka dan mendorong pikiran mereka menjadi lebih terbuka,” akunya. Emma menemukan bahwa puisi adalah alat yang pas untuk mencapai tujuan tersebut saat mengerjakan ilustrasi untuk buku puisi karya temannya. Meskipun awalnya hanya proyek sampingan, karya tersebut menjadi asal-muasal Emma Press. “Dulu saya bekerja di sebuah agensi penerbitan besar di London dan kerap bertanya pada diri sendiri apa yang bisa saya lakukan untuk membuat perubahan, menjadi perempuan yang berdigdaya dan menginspirasi orang lain. Saat sedang mengerjakan proyek tersebut, saya mulai berpikir tentang membuat penerbitan saya sendiri,” kenangnya. Emma kemudian menyadari bahwa kebanyakan nama agensi penerbitan adalah nama laki-laki, dan di titik ini dia semakin terdorong untuk mewujudkan impiannya. “Saya melakukan riset kecil-kecilan dan menemukan sebuah penerbit di Amerika Serikat yang bernama Emily Press, dan di situ saya mendapatkan sebuah ilham. Dari sana, lahirlah Emma Press,” jelasnya.
Semangat melawan arus ini juga yang melandasi kinerja Zoblit, yang menerbitkan buku-buku bertema masakan dan turisme. Dengan menggunakan bantuan SEO (Optimisasi Mesin Pencari) dan SMO (Optimisasi Media Sosial), penerbit ini mencari buku-buku populer di genre pilihannya dan kemudian membundelnya dengan buku-buku yang kurang terkenal. “Kami ingin melakukan sesuatu yang berbeda dan menciptakan tren sendiri,” jelas direktur penjualan Yahya Thahda, sembari mencontohkan Zoblit seperti layaknya ikan yang tidak mengikuti arus air. Dia mempercayai bahwa menggunakan model bisnis seperti ini bukan hanya memastikan nilai tambah bagi para pembacanya, namun juga memberikan mereka kesempatan untuk terpapar terhadap karya-karya yang kurang terkenal. “Di Inggris, metode promosi dari mulut ke mulut ini menjadi kunci kesuksesan kami. Audiens kami merekomendasikan buku-buku kami ke anggota keluarga, teman atau rekan kerja mereka. Walhasil, kami mampu menjual hingga 8,000 buku per hari,” ucapnya. Trik seperti membungkus buku dengan slip case atau kotak hadiah di musim liburan juga terbukti mampu menaikkan oplah penjualan Zoblit. Yahya mengatakan bahwa ini dapat menjadi kunci meningkatkan kegemaran membaca di Indonesia. “Masyarakat Indonesia tidak terbiasa memberikan buku sebagai hadiah atau melihat buku sebagai karya seni yang patut diapresiasi di luar kontennya. Jika kami mampu menginspirasi penerbit-penerbit di Indonesia untuk melakukan hal serupa, mungkin saja kultur literasi di Indonesia dapat berubah,” tandasnya.
Mengubah kultur baik di Inggris dan Indonesia agaknya menjadi agenda utama kelima penerbit ini selama berpartisipasi di IIBF. Dalam kunjungan mereka selama seminggu di Jakarta, mereka bertemu dengan sejumlah penulis dan penerbit Indonesia untuk menjajaki pertukaran dan kolaborasi literasi. “Saya percaya bahwa tujuan akhir dari bisnis penerbitan adalah menghubungkan orang-orang,” ucap Emma, yang saat ini sedang dalam proses menerbitkan dua buku karya penulis Indonesia, Reda Gaudiamo dan Rassi Narika. Tambahnya, “Membaca dan terpapar terhadap berbagai kebudayaan dan cara hidup melalui buku-buku yang kita baca memungkinkan kita memupuk lebih banyak empati sekaligus memahami keberagaman dan ide-ide unik yang terus memajukan berbagai kebudayaan di dunia ini.”