Dalam rangka menyambut penetapan Indonesia sebagai fokus gelaran London Book Fair tahun depan, British Council Indonesia telah mengundang beberapa penerbit UK untuk program kunjungan sastra ke Indonesia. Program ini bertujuan untuk mengenalkan wakil penerbit kepada kancah sastra dan penerbitan Indonesia, juga membicarakan peluang bagi karya penulis Indonesia untuk diterjemahkan ke bahasa Inggris serta meletakkan fondasi untuk penjualan hak cipta.
Selama kedatangannya, para penerbit UK menyambangi Jakarta dan Makassar––bertepatan dengan Makassar International Writers Festival––dengan agenda yang meliputi pertemuan dengan editor dan ahli hak cipta, programmer festival, dan tentunya penulis. Perwakilan penerbit UK juga mendapat kesempatan bertemu dengan kritikus sastra Indonesia, juga penulis dan penerjemah dari komunitas sastra lebih luas.
Pada akhir petualangan mereka di Indonesia, dua dari enam wakil penerbit UK––Juliet Mabey dari Oneworld Publications dan Shane Rhodes dari Wrecking Ball Press––menyempatkan untuk berbincang dengan British Council Indonesia.
Juliet dan Shane bicara soal hal-hal yang ia temukan selama perjalanan, perbedaan antara kancah sastra Indonesia dan Inggris, hingga buku/penulis Indonesia yang mereka rekomendasikan untuk warga UK.
Boleh ceritakan tentang apa saja yang kalian masing-masing lakukan di Oneworld Publications dan Wrecking Ball Press?
Shane: Berdiri pada 1997, Wrecking Ball Press adalah sebuah penerbit independen berskala internasional yang merilis puisi dan prosa alternatif. Saya juga merupakan direktur artistik untuk The Humber Mouth Literature Festival di Hull, juga ko-direktur artistik festival Contains Strong Language dengan BBC.
Juliet: Di Oneworld, kami menerbitkan sekitar 75 judul baru per tahun ditambah rilisan ulang dalam format sampul tipis. Setengah dari rilisan kami adalah non-fiksi naratif, kebanyakan ditulis oleh para ahli untuk audiens luas dengan tema-tema yang meliputi isu global, sains populer, alam, ide besar, agama, filosofi, dan sebagainya. Sementara setengahnya lagi adalah fiksi literatur, judul-judul untuk anak muda. Termasuk di dalamnya fiksi terjemahan. Kami sangat senang bisa memenangkan Man Booker Prize pada 2015 dan 2016 berkat A Brief History of Seven Killings dari Marlon James dan The Sellout karya Paul Beatty. Kami juga sudah dua kali dinominasikan untuk Man Booker Prize International lewat Fever Dream milik Samanta Schweblin (Argentina) dan Frankenstein in Baghdad kepunyaan Ahmed Saadawi (Irak).
Dalam daftar judul fiksi yang kami keluarkan, kami ingin menawarkan keberagaman penulis dan novel yang ada di dunia. Fiksi membuka jendela ke macam-macam dunia, ke cara-cara berbeda dalam melihat dunia, sejarah, budaya, dan pengalaman hidup. Jadi bila Anda ingin mencerminkan manusia yang kaya ragam, Anda tidak bisa membatasi diri ke budaya dunia yang hanya berbahasa Inggris––Anda akan ketinggalan banyak hal. Penulis-penulis kami mewakili lebih dari tiga puluh negara dan bahasa, dari Arab, Jepang, Korea, Slovenia, hingga Islandia.
Bagaimana proses kalian dalam menemukan buku/penulis bagus?
Shane: Prosesnya organik. Selain menerima naskah-naskah yang dikirim, kami juga mengontak penulis melalui festival dan acara yang melibatkan kami, seperti Contains Strong Language. Wrecking Ball Press ada selama 21 tahun dan reputasi kami sudah berkembang banyak.
Juliet: Kami mendapatkan buku dari agen-agen sastra juga penerbit di seluruh dunia, bertemu di pameran hak cipta seperti yang terselenggara di Frankfurt dan London, serta kunjungan mencari bakat ke New York dan negara-negara yang menarik minat kami macam Indonesia, Polandia, Meksiko, Lithuania, Denmark, dan lainnya. Banyak yang diorganisir melalui British Council bekerja sama dengan London Book Fair. Kami juga mendapatkan buku langsung dari penulisnya, baik fiksi maupun non-fiksi, dengan cara lama lewat networking atau pendaftaran via situs kami. Untuk fiksi yang diterjemahkan, kami sering menerima rekomendasi dari penerjemah dan penulis lain yang mereka rasa cocok dengan kami. Kami juga bekerja sama dengan institusi budaya di banyak negara yang berupaya membawa permata sastra dari negara masing-masing ke perhatian penerbit di seluruh dunia.
Menurut kalian, apa yang membedakan penerbit indie dengan penerbit besar? Bagaimana penerbit indie bisa bermanfaat bagi orang banyak?
Shane: Saya pikir kami bisa memberi lebih banyak waktu bagi penulis karena kami tidak menerbitkan terlalu banyak judul. Kami bisa bekerja sama dengan para penulis dalam mempresentasikan dan memasarkan buku mereka. Kami juga menekankan kualitas desain yang membuat buku kami unik. Kami juga bisa mengambil lebih banyak risiko yang tidak dianggap komersial oleh penerbit besar yang mengincar penjualan dalam jumlah besar.
Juliet: Penerbit indie memiliki fokus terhadap area yang niche dan menjadi ahli dalam bidangnya, baik itu puisi, fiksi terjemahan, atau tema spesifik. Penerbit indie juga bisa lebih gesit dalam menerbitkan sesuatu, dan berkat budget yang biasanya lebih rendah membuat mereka bisa mengambil risiko dengan proyek kurang komersial yang tidak berani diambil oleh penerbit besar. Fiksi terjemahan adalah contohnya, di mana Anda akan melihat banyak penerbit indie menguasai daftar penghargaan karena ini adalah area yang mereka kerap kuasai.
Apa persamaan juga perbedaan antara kancah sastra UK dengan Indonesia?
Juliet: Di UK, mayoritas penulis fiksi memiliki agen yang mewakili mereka, mendatangi pameran buku atas nama para penulis dan menjual karya ke para penerbit di seluruh dunia. Ini kurang umum di Indonesia, begitu juga dengan di negara-negara lain seperti Prancis, Meksiko, dan Finlandia. Meski begitu, penerbit seperti Lontar Foundation memiliki pengamat aktif sastra Indonesia untuk mempromosikan karya penulis di luar negeri. Sejumlah genre sastra seperti crime tampak tidak terlalu berkembang di Indonesia, sementara cerita pendek lebih populer di Indonesia dibanding UK. Kancah penerbit independen di Indonesia sangatlah kuat, sama seperti di UK, dan banyak hubungan akan terjalin antara keduanya sebagai hasil dari kunjungan ini dan aktivitas London Book Fair Market Focus pada Maret mendatang. Saya juga sangat tertarik untuk mempelajari betapa pentingnya media sosial bagi para penulis Indonesia, terutama penggunaan Facebook.
Shane: Saya baru menyambangi Jakarta serta Makassar dan dari apa yang saya lihat, kancahnya cukup mirip dengan apa yang ada di UK. Festivalnya serupa tapi perbedaan yang paling mencolok adalah jarak yang harus ditempuh antar lokasi. Perbedaan lainnya: sebagai penerbit independen, sebagian besar pemasukan saya datang dari pendanaan dewan kesenian dan saya tidak merasakan adanya organisasi seperti itu di Indonesia. Perbedaan ketiga: di UK, ada penekanan untuk membuat sastra lebih mudah diakses bagi khalayak ramai dan upaya melebarkan partisipasi dalam bersastra, sementara di Indonesia saya memiliki kesan bahwa sastra lebih merupakan budaya yang umum.
Apa hal-hal baru yang kalian temukan selama berkunjung ke Indonesia?
Juliet: Indonesia adalah negara sangat luas yang terdiri dari 17 ribu pulau, dengan lebih dari 700 bahasa dan dialek, membuat penerbitan dan distribusi buku menjadi sangat menantang. Meski demikian, negara ini memiliki ekosistem penerbitan yang aktif, dengan jajaran penerbit yang kuat, penulis menarik, dan festival sastra terkemuka. Ditambah lagi London Book Fair Market Focus mendatang bakal menawarkan kesempatan berharga untuk menampilkan penulis dan sastra Indonesia kepada penerbit UK dan internasional. Saya sangat berminat untuk mendengar cerita Lontar Foundation. Pencapaian mereka dalam dua dekade saja sangatlah impresif. Mereka telah menerbitkan lebih dari 200 judul yang diterjemahkan ke bahasa Inggris, menghasilkan kumpulan karya yang luas dan beragam; terdiri dari tulisan-tulisan terbaik di Indonesia, dari fiksi klasik hingga kontemporer, mencuri perhatian penerbit dari berbagai belahan dunia lain dan memfasilitasi perkembangan studi sastra Indonesia di universitas-universitas.
Shane: Menemukan penulis-penulis baru. Saya tidak menyangka akan menemukan penulis Indonesia yang cocok dengan etos Wrecking Ball, tapi ternyata saya menemukannya. Antusiasme terhadap sastra di sini berbeda dengan tempat-tempat yang pernah saya datangi sebelumnya. Pengaruh dan inspirasi kami kurang lebih sama. Kondisi manusia menyediakan sumber materi yang tak ada habisnya untuk penulis.
Apa buku/penulis Indonesia yang wajib dibaca oleh publik UK?
Shane: Wrecking Ball akan menerbitkan karya Mikael Johani yang berjudul We Are Nowhere dan It's Wow, jadi saya harap mereka akan membaca ini dalam beberapa waktu ke depan! Saya juga tidak sengaja menemukan dan sangat suka koleksi puisi karya Nirwan Dewanto, Museum of Pure Desire, yang diterjemahkan dengan begitu indah oleh Jon McGlynn.
Juliet: Novel-novel dari Eka Kurniawan belum lama ini telah dirilis, dan beberapa penulis lain yang karyanya sedang dalam proses penerjemahan, seperti Intan Paramaditha yang cerita pendek dan novelnya akan diterbitkan oleh Harvill Secker pada musim gugur ini. Sebagai tambahan, saya pikir penulis seperti Ayu Utami dan Leila Chudori sangat layak untuk dibaca oleh lebih banyak orang di luar Indonesia.
Menurut kalian, apa buku yang harus dibaca sebelum tahun 2018 berakhir?
Juliet: Saya sangat ingin membaca Lullaby oleh Leila Slimani dan The Silk Roads: a New History of the World milik Peter Frankopan. Sebetulnya saya bisa lanjut terus dan menyebutkan lebih dari satu lusin judul.
Shane: Saya merekomendasikan judul apa pun yang ditulis oleh Lucia Berlin, penulis yang terabaikan saat ia masih hidup tetapi kini mulai mendapatkan reputasi yang layak.
Bersama Oneworld Publication, Juliet telah menerbitkan sejumlah buku pemenang penghargaan dan deretan penulis yang karyanya berbicara soal psikologi, agama, politik, hingga seni.
Shane Rhodes adalah editor yang berbasis di Hull dan menjalankan Wrecking Ball Press. Karyanya banyak terpengaruh oleh musik dari Leonard Cohen, Tom Waits, Joni Mitchell, Bob Dylan, dan masih banyak lagi.