Indonesia dikenal dunia akan keberagaman produk kriya yang khas dari tiap daerah. Guna mendukung perkembangan kriya, dukungan dari segi pelatihan pengelolaan, maupun pemasaran diperlukan agar produk yang dihasilkan mencapai kualitas yang baik, mengjangkau pasar yang luas dan berkelanjutan. British Council melalui program Digital Craft Toolkit: Training of Trainers memiliki visi untuk membantu komunitas perajin di Indonesia dalam meningkatkan kapasitas pendapatan.
Dalam kemitraan dengan ID/Aptitude – sebuah firma konsultan dan think tank yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas penelitian, pengembangan produk dan program peningkatan kapasitas di sektor kreatif, ID/Aptitude meneruskan materi yang dibuat oleh British Council ke empat komunitas dari daerah berbeda, menyesuaikannya dari bentuk modul digital ke bentuk yang lebih mudah dipahami oleh tiap komunitas. Berangkat dari daftar komunitas perajin yang didapat dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), ID/Aptitude memilih empat komunitas yang memiliki potensi untuk dikembangkan, yaitu komunitas yang berasal dari Wae Mose dan Poco Rutang, Watu Panggal dan Ngancar, Nusa Tenggara Timur. Dari keempat komunitas ini para peserta dikategorikan berdasarkan jenis kriya yang mereka tekuni yaitu kain tenun (Wae Mose, Poco Rutang dan Ngancar) dan anyaman pandan (Watu Panggal).
Agar keempat komunitas yang datang dari latar belakang pendidikan berbeda ini dapat menyerap materi secara maksimal, ID/Aptitude melakukan beberapa penyesuaian, salah satunya adalah dengan menerjemahkan materi dan mengaitkannya dengan konteks lokal menggunakan animasi dan presentasi yang interaktif. Selain itu, ketika pelatihan berlangsung, mereka membentuk beberapa grup-grup kecil untuk mendukung kelancaran diskusi. Melalui program pelatihan ini, para peserta memperoleh bimbingan untuk mengasah keterampilan manajemen baik dari segi keuangan, promosi produk, hingga langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam kolaborasi dengan desainer.
Komunitas tenun di Wae Mose, Poco Rutang, dan Ngancar
Menenun adalah mata pencaharian utama bagi mayoritas wanita di Wae Mose, Poco Rutang dan Ngancar. Tidak hanya sebatas mata pencaharian, kain tenun juga merupakan pakaian tradisional yang masih sering dipakai untuk menghadiri acara-acara adat. Kain tenun menjadi hal penting baik dari sisi ekonomi dan kebudayaan bagi kedua komunitas.
30 peserta dari wilayah-wilayah tersebut dikumpulkan oleh ID/Aptitude untuk mengikuti program pelatihan. Meskipun memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, hal tersebut tidak menghalangi antusiasme para peserta dalam menerima pelatihan. Rasa keingintahuan yang tinggi yang ditunjukkan oleh perserta turut melancarkan program pelatikan. Bahkan untuk wilayah Ngancar yang minim akses listrik, memperlihatkan tingkat antusiasme yang tinggi dan berpartisipasi secara aktif. Mereka memanfaatkan penggunaan solar panel agar tetap bisa mengikuti proses pelatihan. Namun di sisi lain, terdapat persaingan yang cukup tinggi antar penenun sehingga menyebabkan adanya batasan dalam cerita yang mereka bagikan, terutama secara verbal. Oleh karena itu dengan digunakannya platform digital seperti Whatsapp, hal ini mempermudah ID/Aptitude dalam menjangkau para peserta yang cenderung pasif selama pelatihan.
Beberapa peserta ada yang merupakan penenun generasi pertama. Mereka belajar menenun di usia muda dari tetangga atau kerabat lainnya. Hanya ada dua penenun yang menerima pelatihan menenun secara langsung dari anggota keluarga. Oleh karenanya banyak peserta yang belum memiliki sistem manajemen yang sudah terstruktur seperti halnya sistem manajemen yang dimiliki oleh perajin batik di Jawa. Proses manajemen keungan masih dijalankan secara kekeluargaan, yang mana diatur dalam kelompok-kelompok usaha kecil seperti sistem koperasi.
Komunitas anyaman pandan di Watu Panggal
Berbeda dengan komunitas penenun di Wae Mose, Poco Rutang dan Ngancar, para perajin dari komunitas anyaman di Watu Panggal tidak menjadikan produk kriya mereka sebagai sumber mata pencaharian utama. Para perajin dari komunitas ini berkebun dan berladang di pagi hari dan kemudian melanjutkan hari-hari mereka dengan menganyam. Meskipun demikian, produk anyaman tetap merupakan atribut penting yang umum digunakan pada acara adat dan pernikahan.
Menganyam bersifat turun temurun bagi para anggota komunitas. Dimulai sejak usia 8 tahun, anak-anak diajarkan memanen tanaman pandan oleh orangtuanya. Ketika anak-anak menginjak usia 15 tahun, mereka kemudian mulai diajarkan menganyam dan membantu orangtuanya. Tradisi menganyam juga diajarkan kepada anggota keluarga baru seperti halnya orang luar yang kemudian menikah dengan orang dari komunitas tersebut.
Melalui program pelatihan yang diselenggarakan oleh ID/Aptitude, 30 perajin anyaman berhasil dikumpulkan sebagai peserta dengan usia dan latar belakang pendidikan yang berbeda pula. Meskipun para peserta memperlihatkan tingkat antusiasme yang tinggi, rasa sungkan kerap menjadi penghalang dalam proses diskusi. Akan tetapi hal ini dapat teratasi berkat hadirnya bapak kepala desa yang bertindak sebagai penengah selama program pelatihan.
Tantangan
Pandemi Covid-19 menjadi tantangan terbesar yang perlu dihadapi oleh ID/Aptitude. Kegiatan yang sudah dijadwalkan dari jauh hari terpaksa ditunda selama kurang lebih 3 bulan akibat ketidakpastian yang ditimbulkan oleh pandemi. Selain itu jaringan internet yang terbilang sulit di daerah-daerah tersebut juga kerap menjadi tantangan bagi panitia dalam menyampaikan materi. Hal ini cukup dipermudah dengan adanya panel surya di salah satu lokasi pelatihan sehingga para peserta bisa mengakses materi melalui telepon genggam.
--
Dari program ini disimpulkan bahwa keempat komunitas dapat merasakan manfaat dari materi yang disuguhkan oleh ID/Aptitude dan British Council. Jika saja ada seseorang atau lembaga yang bersedia mengintegerasikan materi yang bersifat formal ke bentuk lain yang lebih mudah di pahami, hal ini tentu akan mempermudah proses perataan pembagian ilmu manajemen kriya ke tiap komunitas di Indonesia. Keberagaman produk kriya yang khas serta tingginya tingkat antusiasme yang dimiliki para peserta menjadi pengingat kita bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam mengembangkan sektor ekonomi kreatif.