By UK/Indonesia 2016-18 team

01 April 2019 - 13:50

Emma Frankland and Tamara Pertamina in front of a Hand-drawn map. One of the works showcased in this exhibition.  ©

Doc. by British Council

Baru pada abad ke-21 lah orang-orang Eropa mulai memahami kerumitan dan kelenturan gender; namun di Indonesia, ada suku-suku asli yang mengakui adanya lebih dari dua gender sejak berabad-abad lalu.

Pada Januari 2019, dua seniman performans Tamara Pertamina (Indonesia) dan Emma Frankland (Inggris) bertualang bersama ke Sulawesi Selatan untuk bertemu dengan para komunitas Bissu – sebuah identitas netral gender dalam tradisi Bugis.

Perjalanan sekaligus penelitian ini menghasilkan sebuah presentasi kolaboratif yang terbuka untuk publik bernama ‘Calabai Janggeng, In Search of Our Trans Ancestors’ yang berlangsung pada 21 Januari, di Yayasan HONF, Jogjakarta. Mereka berbagi pengalaman mereka bersama melalui film dan performans kolaboratif, yang juga mempertunjukkan beberapa kegiatan ritual yang menjadi bagian penting dari komunitas Bissu.

Emma Frankland dan Tamara Pertamina menceritakan residensinya melalui presentasi publik. 

Sebagai seniman trans yang masing-masing datang dari latar belakang berbeda, baik Tamara dan Emma sangat tertarik untuk mengeksplorasi ragam pendekatan ke gender yang berbeda dan kuno selama perjalanan mereka di Sulawesi Selatan. Selama lebih dari sepuluh hari, mereka berpartisipasi dalam upacara ritual, tinggal dan bergurau bersama dengan para pemimpin Bissu, serta para calabai (secara etimologi bermakna ‘hampir perempuan’)dan calalai(secara etimologi berarti ‘hampir lelaki), dan menggali budaya yang tersembunyi dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru tentang diri mereka sendiri.