Pengetahuan tidak melulu berasal dari buku, tapi juga dari interaksi kita dengan sekitar. Kesadaran akan hal tersebut bisa dirasakan di C2O Library & Collabtive, Surabaya. Meski dikenal sebagai perpustakaan,C2O isinya tidak melulu buku saja—ada ruang coworking, ruang serbaguna, dan Dapur (kafe kecil) yang kesemuanya biasa digunakan pengunjung sebagai tempat bertukar pikiran.

Artikel ini ditulis oleh Nadia Maya Ardiani

Berdiri sejak tahun 2008, perpustakaan independen ini bermula dari kegelisahan Kathleen Azali akan sulitnya akses buku di Indonesia, khususnya di Surabaya. Pada masa itu, perpustakaan hanya buka saat jam kerja, sementara sebenarnya banyak orang yang butuh mengaksesnya di luar jadwal tersebut—termasuk Kathleen sendiri, yang pada waktu itu bekerja purna waktu di suatu kantor. Selain itu, banyak perpustakaan membatasi orang masuk berdasarkan tampilan (misal, tidak boleh mengenakan celana pendek atau sandal). Dari situlah muncul ide mendirikan perpustakaan. Kathleen mengumpulkan koleksi pertama dari koleksi pribadi, keluarga, teman, serta jaringan mahasiswa dan jurnalis. Dari situ lah perpustakaan yang buka sampai jam 9 malam dan akhir pekan dibangun untuk mengakomodasi mereka yang membutuhkan ruang-ruang kreatif seperti ini di luar jam kerja.

Kini koleksi C2O telah berkembang menjadi sekitar 7000 judul, yang mencakup berbagai topik antara lain sejarah, budaya, sastra, komik & novel grafis, serta seni. Ada juga koleksi khusus sejarah Surabaya & Jawa Timur, yang menjadi respon dari sulitnya mendapatkan buku-buku mengenai Surabaya dan Jawa Timur, bahkan di kota ini sendiri. Selain itu, seiring dengan meningkatnya tuntutan pada literasi digital dan informasi teknologi yang berkaitan dengan kondisi sosial, C2O juga mengembangkan program dan koleksi khusus berkaitan dengan topik privasi, keamanan digital, gender, seksualitas & teknologi, dan ketenagakerjaan era industri 4.0. Ini sejalan dengan visi misi PERIN+1S, organisasi nirlaba yang mengelola C2O, untuk mendorong pembelajaran dan perangkaian informasi teknologi secara swadaya.

Cangkruk untuk Belajar

Meski bentuk utamanya adalah perpustakaan, C2O tidak berniat hanya menjadi gudang buku di mana orang duduk, membaca, dan pulang tanpa berinteraksi. Misi utamanya adalah untuk menciptakan ruang aman untuk belajar, bekerja, berkarya, dan berinteraksi dengan beragam komunitas dan lingkungan sekitar—sebuah ruang untuk tumbuh bersama.

“Kita berbagi sumber daya dan fasilitas bersama. Buku, ruang, pertemanan, pengetahuan, dll. Juga berbagi tanggungjawab dengan semangat solidaritas dan swadaya,” ucap Kathleen sembari meladeni Betmen, kucing penghuni C2O sekaligus salah satu makhluk hidup kesayangan pengunjung. Biaya yang terjangkau dan rangkaian kebijakan yang ramah lingkungan menjadi daya tarik tersendiri. Meski tempatnya berada di lokasi premium di jantung kota Surabaya, namun kombo atmosfer santai, tiadanya “dress code” , dan tiadanya penarikan biaya untuk sekedar nongkrong atau membaca menunjukkan upaya C2O dalam mengurangi rintangan masuk dan sekat antar pengunjung. Tapi bukan berarti tidak ada “code of conduct” di C2O—ada peraturan rumah tangga untuk memastikan semua orang merasa aman, nyaman, dan berani di tempat ini. Penjualan produk serta penggunaan coworking oleh berbagai perusahaan dan organisasi juga memastikan operasional C2O tetap berjalan.

Ini adalah beberapa upaya untuk menurunkan rintangan dan mempermudah akses sumber-sumber pengetahuan yang tersedia—baik itu dalam bentuk materiil seperti buku, atau dalam bentuk kegiatan seperti diskusi, lokakarya, pemutaran film, pameran, dsb. Apalagi kini makin sedikit ruang yang mau mengakomodasi penyelenggaraan acara-acara yang kritis terhadap kondisi sosial politik sekarang.

Dengan menstimulasi orang untuk lebih menjajaki sumber pengetahuan yang ada, C2O juga mengenalkan bahwa literasi bukan hanya soal kemampuan teknis membaca dan menggunakan perangkat teknologi. Kemampuan menyaring informasi dan bagaimana menyebarkannya juga perlu diperhatikan. Belum lagi di era digital seperti sekarang, di mana teknologi seringkali hanya dianggap berkaitan dengan teknologi digital. Padahal ada banyak teknologi non-digital yang digunakan untuk memasak, bekerja, dan bertahan hidup. Kaitannya dengan konteks sosial politik sekitar, seperti ketimpangan akses bagi perempuan dan LGBTIQ, perbedaan kelas, dsb. juga sangat perlu diperhatikan.

Untuk menjalankan misi memfamiliarkan isu literasi, sejauh ini C2O melakukannya melalui berbagai pelatihan dan pameran. Bekerjasama dengan berbagai pihak, salah satunya Tactical Tech Collective, PERIN+1S telah mengadakan berbagai kegiatan publik di C2O seperti lokakarya pengelolaan password, pameran tentang hubungan privasi data dengan kepentingan bisnis & politik, hingga lokakarya mendeteksi “fake news” yang beredar bekerjasama dengan AJI (Aliansi Jurnalis Independen), Internews, dan Google.

Pertolongan Pertama pada Kreativitas

Salah satu demografi yang sering berkunjung ke C2O adalah pekerja kreatif, termasuk pekerja lepas. Berdasarkan pengamatan dan penelitian dengan berbagai pihak, di mana ditemukan banyak pekerja yang bahkan tidak tahu hak-hak dasarnya, Kathleen jadi semakin yakin bahwa perlu ada semacam panduan bagi pekerja sektor kreatif. Maka disusunlah Pertolongan Pertama pada Kreativitas (P3K).

Bekerjasama dengan Domestic Science (UK) dan SINDIKASI (Serikat Pekerja Media dan Kreatif untuk Demokrasi) serta didukung oleh British Council - DICE (Developing Inclusive and Creative Economies), P3K hadir dalam bentuk website dan kartu permainan, yang mencakup berbagai aspek yang dirasa penting dipahami para pekerja kreatif, mulai dari hak-hak normatif sebagai pekerja, pembuatan kontrak kerja, negosiasi harga, bagaimana jika ijazah ditahan, bantuan hukum yang tersedia, hingga soal magang dan exposure.

Berdasarkan diskusi dan penelitian yang dilakukan untuk projek ini, yang juga melibatkan beberapa kampus dan kolektif seni di Surabaya, hal-hal seperti ini malah tidak pernah atau sangat jarang dibahas dalam kurikulum di kampus. Sehingga tak heran pekerja kreatif sering tergilas mekanisme pasar tanpa perlindungan yang memadai. Tidak hanya bermanfaat bagi pekerja kreatifnya sendiri, panduan ini juga dapat digunakan oleh pemerintah serta sektor pendidikan dan bisnis untuk membangun usaha yang lebih sehat, adil, dan manusiawi.

“Misalnya, untuk menanggapi situasi pandemi, kami menambahkan tips-tips terkait kerja jarak jauh (remote work) selama pandemi, seperti tips memilih aplikasi video conference dan project management,” tambah perempuan yang juga bekerja sebagai peneliti dan Digital Rights Program Manager di satu organisasi Asia Pasifik yang fokus pada teknologi terbuka dan hak-hak digital. Satu poin tambahan yang menarik dari proyek ini, baik PERIN+1S/C2O dan Domestic Science sama-sama setuju untuk tidak saling mengunjungi negara satu sama lain. Selain ingin mengurangi dampak jejak karbon pada lingkungan, kedua organisasi ini juga merasa perlu menjajaki metode kolaborasi online , salah satunya melalui GitHub dan video conference, karena menurut mereka penerapan metode ini akan makin penting ke depannya. Tak disangka COVID-19 terjadi, maka projek seperti ini jadi terasa makin perlu dilakukan.

Kehadiran buku panduan P3K ini dirasa semakin mendesak mengingat perlindungan sistemik terhadap pekerja kreatif di Indonesia masih kurang jelas adanya. Dengan begitu, penting bagi para pekerjanya untuk setidaknya mendapatkan apa yang menjadi hak mereka, sehingga ke depannya industri yang digadang-gadang akan menjadi tulang punggung perekonomian negara ini bisa benar-benar berkembang dalam apa yang disebut SINDIKASI sebagai ekosistem kerja yang adil, manusiawi, dan berkelanjutan.