©

Doc. by Dishub Surabaya

Bicara soal kota kreatif, sepertinya Surabaya bukanlah salah satu kota yang namanya langsung melintas di kepala dan menjadi asosiasi dari predikat tersebut. Bandung, Ambon, atau Yogya kemungkinan besar akan lebih dulu terpikirkan saat membicarakan isu yang satu ini.

Surabaya lebih dikenal sebagai kota industri atau kota dagang, mengingat aktivitas perdagangan dan perindustriannya yang sangat dominan, ditambah statusnya sebagai pintu gerbang perekonomian Indonesia Timur. Tapi bukan berarti ibukota Jawa Timur ini memiliki jumlah pekerja kreatif yang sedikit. Lantas, apakah perlu Surabaya memiliki wadah tersendiri bagi para pekerja kreatifnya?

Artikel ini ditulis oleh Nadia Maya Ardiani

Hafshoh Mubarak, atau akrab disapa Hebz, meyakini pentingnya hal tersebut. Berawal dari kegelisahan akan tidak adanya suatu wadah besar yang memayungi pelaku industri kreatif dari berbagai sektor di Surabaya, Hebz dan kawan-kawan mulai merintis Surabaya Creative Network (SCN) pada tahun 2016.

Hebz merasa bahwa tidak adanya sebuah payung besar inilah yang menyebabkan para pekerja kreatif di Surabaya cenderung berjalan sendiri-sendiri. “Bisa dibilang SCN ini adalah ‘penjahit’,” ujarnya, “kita yang melihat dari helicopter view, sehingga kita bisa melihat mana saja yang perlu ‘dijahit’,”. Dengan hadirnya entitas yang bertugas ‘menjahit’ individu-individu dan komunitas-komunitas yang ada untuk menuju gol besar yang sama—memecahkan permasalahan kota melalui solusi kreatif —diharapkan lanskap industri kreatif di Surabaya jadi lebih mudah diraba situasinya.

Itu pula sebabnya kenapa SCN hadir sebagai jejaring, alih-alih asosiasi. Semua orang boleh menjadi bagian dari jejaring SCN, karena SCN ingin menjadi hub bagi semua komunitas dan individu yang bergerak di bidang kreatif. Kini sudah ada 120 individu/komunitas yang masuk dalam radar SCN, dan angka tersebut tentunya akan makin berkembang ke depannya.

Berdirinya SCN sendiri salah satunya terinspirasi dari obrolan dengan tim BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif) tentang pentingnya satu komunitas besar berbasis kota. Karena dengan kondisi yang lebih terstruktur, komunitas tersebut dapat menjadi perpanjangan tangan pemerintah, dalam artian SCN menjadi ‘aggregator’ aspirasi dan situasi industri kreatif di Surabaya. Dari sudut pandang pemerintah, hal ini dapat mempermudah pemerintah dalam berinteraksi dan memfasilitasi kebutuhan yang ada. Dengan begitu, pemetaan ekosistem kreatif pun dapat berjalan dengan lebih efektif.

 

©

Doc. by Dishub Surabaya

Didukung oleh British Council melalui program DICE (Developing Inclusive and Creative Economies), SCN menggelar serangkaian Focus Group Discussion (FGD) bersama masyarakat dan para pelaku industri kreatif yang kemudian mencapai puncaknya di Rapat Kerja Tahunan pertama SCN, Januari 2020 silam. Dalam raker tersebut, SCN turut mengundang perwakilan dari 5 elemen Pentahelix (ABCG-M; akademisi, bisnis, komunitas, pemerintahan, dan media) agar kelimanya dapat bersinergi dengan satu sama lain. Dari rangkaian FGD inilah SCN kemudian menyusun rancangan roadmap untuk 10 tahun ke depan.

Salah satu poin dalam roadmap tersebut adalah rencana untuk membuat forum akademisi atau pusat riset. Hebz merasa bahwa salah satu hal yang keberadaannya masih sangat minim adalah riset terkait industri kreatif. Dalam jejaring SCN sendiri sudah ada beberapa dosen dari 10 kampus di Surabaya. Di situ SCN akan mengkomunikasikan kepada rekan-rekan akademisi mengenai isu yang perlu diberi perhatian khusus, sehingga kemudian antara SCN dan akademisi dapat bekerjasama untuk mengadakan riset tersebut.

Sinergitas Pentahelix ini menjadi penting karena menurut Hebz hal tersebut akan sangat berpengaruh pada roda ekonomi industri kreatif.

“Ketika kita bisa mengedukasi (warga) Surabaya, (dan) publik serta pemerintah mulai paham tentang apa itu brand, media mengapresiasi, maka otomatis kualitas pendidikan serta kualitas dan struktur pola pikir masyarakat akan mulai berubah. Nah dari situ segi finansial teman-teman industri kreatif akan ikut naik. Semuanya berhubungan,” jelas perempuan yang aktif di dunia teater ini.

“Dan industri kreatif tidak bisa berdiri sendirian. Harus berkolaborasi antarsektor industri kreatif, maupun dengan bisnis—baik dengan industri maupun dengan bisnis konvensional—untuk meningkatkan value dan nilai jual. Sehingga nantinya kreativitas akan bisa menjadi solusi dari permasalahan yang ada,” tambahnya.

Tapi ternyata tantangan justru datang salah satunya dari para penggiat industri kreatifnya sendiri. Hebz menyampaikan bahwa dua tahun pertama adalah ‘masa-masa seru’ SCN karena pada masa itu sebagian besar komunitas masih wait & see, sehingga tim SCN harus mendekati satu persatu komunitas yang ada. Salah satu cara Hebz dalam melancarkan jurus ini adalah dengan menyempatkan untuk cangkruk (nongkrong) ngopi sepulang kantor ke ‘markas’ komunitas-komunitas Surabaya. “Saya ratani (kunjungi) satu persatu, untuk kita ngomongin satu roh, membangun pondasi, kenalan ambek dulur-dulur (dengan saudara-saudara),” ungkapnya. Kebiasaannya inilah yang kemudian membuat Hebz dijuluki sebagai ‘Walikota shift malam’ oleh para penggiat kreatif kota Bonek ini.

Menurut Hebz, naif jika pemerintah masih memaksakan Surabaya untuk menjadi kota kreatif. Karena berdagang itu sudah ada di DNA-nya orang Surabaya. Mengapa tidak menjadi kota industri kreatif saja? Karena menjadi ‘kota kreatif’ tidak harus serta merta nyeni seperti Bandung atau Ambon, misalnya. “Dari jaman Majapahit di sini tuh pasar. Jadi kita di (ranah) kreatifnya, tapi ngomongin duitnya. Kita ngomongin perdagangannya, tapi yang kreatif,” jelas Hebz. Akses strategis kepada investor dan ekspor-impor semakin mendukung pemikiran ini.

Kini, pemerintah kota sedang memproyeksikan Surabaya sebagai kota wisata sejarah. SCN turut mendukung agenda tersebut, dan kini tengah menjajaki kolaborasi dengan jejaring kota sejarah se-Indonesia. Hebz sadar bahwa Surabaya itu kaya cerita, dan narasi itu penting. Wisatawan yang menjelajah tiap sudut Surabaya akan selalu bisa merasa seperti didongengi dengan narasi-narasi tersebut. Maka tahun lalu SCN mendampingi pemerintah untuk meresmikan Heritage Walk of Lawang Seketeng, sebuah wisata kampung bersejarah di Surabaya Utara. Pengerjaan Lawang Seketeng ini sekaligus menjadi laboratorium yang menjadi bukti bahwa jika elemen Pentahelix bekerjasama, maka banyak hal solutif dapat terlaksana. Di situ, dari sisi bisnis, sebuah perusahaan cat melakukan Company Social Responsibility (CSR) dalam bentuk penyediaan material; sedangkan dari sisi pemerintahan, bentuk dukungannya adalah berupa kebijakan, termasuk perijinan serta pengurusan hak cipta atau hak paten. SCN juga sedang mengusahakan untuk mengawal pengesahan Perda Ekraf di DPRD Surabaya, dengan target 3-4 tahun selesai. Karena dengan adanya fasilitasi hukum yang cukup, diharapkan industri kreatif Surabaya bisa berkembang lebih baik dan SCN pun akan dapat ‘menjahit’ dengan lebih optimal.