Perubahan baru atau new normal yang terjadi setelah berakhirnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan tantangan bagi para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia, termasuk  wirausaha sosial dan kreatif.  

Inovasi penting untuk terus dikembangkan. Untuk dapat berinovasi dengan baik, kita harus berusaha untuk mengembangkan growth mindset.

Fixed & Growth Mindset menjadi pembahasan pada webinar Growth Mindset for Creative Social Enterprise in Facing New Reality yang diadakan oleh British Council pada hari Rabu, 17 Juni 2020. Ini juga merupakan salah satu tool dari Modul Active Citizen Social Enterprise British Council yang biasanya dilakukan melalui pelatihan tatap muka.

Acara webinar inidipandu oleh Ari Sutanti selaku Senior Programme Manager, British Council Indonesia, dan menghadirkan tiga pembicara. Jimmy Febriyadi, pendiri INCREASE dan fasilitator Active Citizens Social Enterprise; Endahing Suryanti pendiri Pelangi Nusantara; dan Dwi Purnomo, pendiri The Local Enablers dan Wakil Dekan Fakultas Teknologi Agro-Industrial, Universitas Padjadjaran.

Pada setiap sesi, para pembicara berbagi pengalaman mereka terkait bagaimana agar bisa tetap menjalankan usaha dan membawa dampak positif kepada masyarakat.

Sesi pertama dibuka dengan paparan tentang tool Fixed & Growth mindset oleh Jimmy Febriyadi. Jimmy menjelaskan kaitan Growth Mindset dengan tool Fixed & Growth yang memantik cara berpikir dalam pengelolaan business model. Jimmy memaparkan bagaimana memikirkan kelangsungan usaha sosial untuk bertahan dalam situasi krisis. Menurutnya terdapat tiga hal penting yang dapat meningkatkan peluang usaha di masa pandemi dan krisis. Tiga hal tersebut adalah pengelolaan usaha, model usaha yang agile (business model), dan pola berpikir. Pola berpikir memengaruhi cara pelaku usaha dalam menyikapi tantangan ekonomi. Menurutnya, pola berpikir akan diuji dengan tantangan dan kegagalan yang nantinya akan menjadi proses pembelajaran pelaku usaha dalam menyusun siasat pivot usaha, jika diperlukan.

“Banyak pelaku usaha yang berpikir bahwa keterbatasan keadaan bukanlah fokus utama, namun yang penting melihat peluang bagaimana usaha dapat berkembang optimal dan tetap dapat membantu banyak orang,” ujar Jimmy. Sebelum sesi ditutup, Jimmy menambahkan dengan adanya tantangan dalam keadaan ekonomi, yang terpenting adalah keinginan pelaku usaha untuk tidak cepat menyerah, percaya kepada tindakan yang diambil, dan berani untuk keluar dari zona nyaman.

Sesi kedua dilanjutkan oleh Endahing Suryanti, yang akrab dipanggil Ibu Yanti, pendiri Pelangi Nusantara. Pada sesi ini, Ibu Yanti berbagi tentang inovasi usaha ekonomi yang ia lakukan bersama komunitas perempuan yang berlatar belakang ekonomi lemah atau perempuan – perempuan yang menikah di usia muda. Sebagian besar anggota komunitas seringkali sulit menemukan akses pembelajaran ekonomi untuk meningkatkan usaha mereka. Berlatar belakang tersebut, Ibu Yanti selalu aktif menciptakan peluang ekonomi dalam kegiatan Pelangi Nusantara. Salah satu kegiatannya adalah mengumpulkan limbah kain penjahit - penjahit lokal untuk diolah menjadi produk seperti masker, tas, dan aksesoris. Usaha komunitas ini pada prinsipnya adalah memberikan keterampilan dan kesempatan berusaha untuk perempuan, dengan memanfaatkan sisa kain perca untuk menghasilkan pendapatan.

Para perempuan anggota komunitas Pelangi Nusantara telah banyak yang merasakan dampak positif seperti meningkatnya kapasitas diri dan bertambahnya pemasukan untuk menghidupi keluarga. “Anggota komunitas sudah tidak lagi menerapkan menikah di usia muda, dan justru membahas bagaimana agar anak – anak dari setiap keluarga bisa melanjutkan kuliah,” tutur Ibu Yanti.

Sesi terakhir dipaparkan oleh Dwi Purnomo, pendiri The Local Enablers dan Wakil Dekan Fakultas Teknologi Agro-Industrial, Universitas Padjadjaran. Dwi menjelaskan, tool Fixed & Growth British Council merupakan salah satu hal yang signifikan sebagai acuan untuk memulai usaha sosial.

Dwi mengajarkan bagaimana meningkatkan kemampuan mahasiswa yang diinkubasi oleh The Local Enablers untuk bisa bertindak secara inovatif dan tangguh dalam menjalankan dan merintis bisnis mereka, dan jika diperlukan melakukan pivot, atau mengubah model usaha. Ini penting untuk diajarkan kepada mahasiswa yang ikut di inkubasi, karenabagi Dwi, universitas cenderung mengajarkan mahasiswa pola berpikir yang linear, sementara untuk menjadi inovatif dan kreatif, mahasiswa perlu diajarkan untk berpikir secara lateral atau out of the box agar mereka mampu mencari pola serta cara baru dalam berinovasi untuk menjalankan usaha masing – masing.

Kesimpulan penting dari webinar adalah dalam menjalani usaha sosial dan kreatif, di saat menghadapi krisis para pelaku wirausaha dituntut untuk memiliki cara berpikir untuk mau berubah ke arah yang lebih baik dan kreatif dalam mencari peluang baru dan tidak mudah menyerah. Webinar selama dua jam ini diikuti dengan antusias oleh sekitar 180 peserta yang aktif berinteraksi dan mengajukan pertanyaan kepada para pembicara dan moderator.

---

Webinar Growth Mindset for Creative Social Enterprise in Facing New Reality merupakan bagian dari program Active Citizens Social Enterprise (ACSE) British Council. Rekaman webinar dapat disimak di tautan ini.