Semua orang berhak untuk hidup mandiri. Titik balik dalam kehidupan manusia adalah ketika seseorang menyadari bahwa dia memiliki kesempatan dan kemampuan untuk hidup mandiri atau mengenali batasan-batasan yang ada demi membantunya menghadapi tantangan hidup. Inilah yang menjadi dasar dari transisi menuju kedewasaan.
Sejatinya, hidup mandiri lebih dari sekadar pilihan hidup semata.
Seorang penyandang disabilitas pada dasarnya sama saja seperti orang-orang pada umunnya. Pikiran-pikiran tentang arti hidup atau pilihan hidup juga bisa berkecamuk di benak mereka dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Bagaimana caranya agar hidup saya lebih memuaskan dan mandiri? Bagaimana saya bisa ikut berpartisipasi dan berkontribusi terhadap hidup orang lain?
Baik mandiri dengan melakukan semuanya sendiri atau menggunakan bantuan apabila diperlukan, ada banyak cara agar seorang penyandang disabilitas bisa mencapai tujuan hidupnya ini, mulai lewat pendidikan, pekerjaan, keluarga atau perjalanan. Yang dibutuhkan hanyalah semacam hak istimewa yang dikuatkan oleh keluarga dan masyarakat. Namun, kebanyakan orang sayangnya meremehkan para penyandang disabilitas karena kondisi mereka.
Faisal Rusdi, seorang seniman penyandang disabilitas asal Indonesia, telah mengubah persepsi orang-orang yang hidup dengan disabilitas. Hidup Faisal tentu sarat dengan kesulitan akibat kondisi cerebral palsy yang dimilikinya. Meski banyak tantangan yang telah dihadapinya, Faisal tidak pernah menyerah dalam meraih mimpi atau kemandiriannya.
Lahir di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 2 November 1974, Faisal didiagnosis memiliki cerebral palsy setelah orang tuanya memperhatikan terhambatnya perkembangan motorik kasar Faisal saat dia berusia enam bulan. Kondisi ini memengaruhi kemampuannya menggerakan tangan dan kaki secara normal dan membuatnya harus bergerak menggunakan kursi roda seumur hidupnya. Bertahun-tahun setelah mencoba sembuh dan melakukan rehabilitasi lewat fisioterapi, pada tahun 1983 Faisal akhirnya masuk SLB D Bandung dan lulus dari sekolah ini di awal tahun 1990-an. Selama bersekolah di sini, Faisal terbukti mampu mengikuti proses akademik dengan baik, meski dia disarankan untuk fokus pada kemampuan non-akademik saja. Faisal dikategorikan sebagai penyandang disabilitas tingkat berat dan salah satu gurunya bahkan pernah berkata bahwa dia hanya akan menjadi beban bagi orang lain apabila dia tidak bisa hidup mendiri. Tak heran, motivasi dan kepercayaan diri Faisal sempat turun drastis.
Karena tidak memiliki pilihan untuk melanjutkan studinya, akhirnya Faisal memutuskan untuk mengasah talentanya dalam bidang seni di studio milik pelukis realis ternama Barli Sasmitawinata. Dua tahun berselang, Faisal disarankan untuk bergabung dengan organisasi internasional bernama Asosiasi Seniman Lukis Mulut dan Kaki atau Association of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA). Faisal juga bertemu dengan seorang anggota AMFPA yang tinggal di Bandung dan memeriksa kelayakannya. Namun, karena Faisal masih menggunakan tangan kirinya untuk melukis, dia tidak bisa bergabung dengan organisasi tersebut. Akhirnya, Faisal mulai mengembangkan teknik melukis dengan menggunakan mulut dan berhasil mengadakan pameran karyanya di tahun 1998. Lewat karya-karya seninya, dia pun mendaftar ulang ke AMFPA dan akhirnya sukses menjadi anggota pada bulan September 2002.
Kepercayaan diri Faisal semakin meningkat saat dia bertemu dengan seorang aktivis disabilitas asal Jepang yang menjadi tokoh panutannya karena membuka pikirannya dan membuatnya menjadikan “Hidup Mandiri” sebagai filosofi hidupnya. Pada tahun 2003, Faisal memimpin Pusat Hidup Mandiri Bandung atau Bandung Independent Living Center (BILIC) dan kemudian mendirikan Wisata Bebas Hambatan Jakarta atau Jakarta Barrier-Free Tourism (JBFT) pada tahun 2012. JBFT bertujuan untuk mendorong hak disabilitas, aksesibilitas, kesadaran publik dan media serta implementasi kebijakan pro-disabilitas. Dia juga menjadi aktivis hak disabilitas dan berkomitmen untuk memobilisasi kampanye publik terkait hak disabilitas. Selain itu, Faisal juga secara aktif memberikan umpan balik kepada pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya terkait kebijakan untuk penyandang disabilitas.
Pada tahun 2017, Faisal sukses menggelar pameran seni internasional perdananya di Adelaide, Australia. Untuk pameran ini, Faisal menciptakan 20 lukisan dan beberapa di antaranya berhasil dilelang dan sangat diapresiasi oleh para pengunjung. Di samping itu, Faisal dan istrinya juga menikmati waktu mereka di Australia dengan berkelana ke berbagai tempat serta terlibat dalam berbagai aktivitas disabilitas berskala internasional di sebuah komunitas lokal.
Menurut Faisal, seni lukis disabilitas di Indonesia kini sudah cukup berkembang pesat. Tetapi, masih ada banyak rintangan dan tantangan hingga sekarang. Kebanyakan seniman tidak memiliki tempat yang layak untuk menampilkan karya seni mereka atau menjualnya ke publik. Keterbatasan akses di banyak lokasi pameran seni dan pandangan negatif manajemen pameran terhadap para penyandang disabilitas pun tidak membantu. Walhasil, selama pandemi COVID-19, mayoritas seniman disabilitas kehilangan mata pencaharian mereka. Faisal berinisiatif untuk melakukan advokasi dan memberikan akses bagi komunitasnya dengan mengadakan pameran kolaboratif daring (online) bersama para seniman disabilitas dan anggota AMFPA lainnya. Inisiatif ini memungkinkan teman-teman Faisal untuk terus bertahan hidup di kala pandemi ini.
Faisal terus berupaya untuk mendorong orang-orang lain yang hidup dengan disabilitas agar tetap kreatif, inovatif dan produktif dalam menciptakan karya-karya seni yang berkualitas. Melalui seni, Faisal sangat ingin menunjukkan bahwa dia bisa hidup mandiri di dalam masyarakat dan bahkan ikut membantu orang lain. Yang menjadi rintangan bukanlah disabilitas itu sendiri, melainkan lingkungan yang tidak mendukung. Ke depannya, Faisal berencana mengadakan pameran lainnya, baik dalam tingkat lokal ataupun internasional.