By Tatevik Sargsyan, Anamot Press

04 Oktober 2023 - 12:13

Diagram Venn berisikan puisi berjudul “What does it mean to be nourished?” karya Pear Nuallak. ©

Dok. oleh Anamot Press.

Anamot Press dari Inggris bekerja sama dengan penulis queer Indonesia ternama, Norman Erikson Pasaribu, untuk menerbitkan serangkaian puisi dan esai yang mencakup tema seputar sejarah, makanan, dan identitas queer lokal yang amat jarang ditemukan dalam Bahasa Inggris.

British Council (BC): Bagaimana pertama kali Anda bertemu dengan kolaborator Anda?

Anamot Press (AP): Saya pertama kali menemukan kumpulan cerita pendek Norman Erikson Pasaribu musim panas lalu, pada suatu pagi yang cerah di halaman komunal di luar flat saya. Cerita-cerita itu benar-benar menghibur saya, walau ada kepahitan di sana. Saya menyukai humor dalam tulisannya, sementara rasa bersalah, cinta, dan kerumitan orang tua juga terasa begitu dekat. Saya menyelesaikan buku itu hanya dalam beberapa hari.

Melihat peluang berkolaborasi dengan penulis asal Indonesia, saya langsung teringat pada Norman. Saya berharap dia mau bergabung dengan saya dalam perjalanan menyoroti pengalaman queer di Indonesia. Saya menghubunginya dengan potensi berkolaborasi dan melamar hibah British Council.

Saat pertama kami bertemu di Zoom sangatlah menyenangkan. Kami berbagi ide, pandangan politik, dan visi untuk proyek ini. Kami berdua amat ingin menyoroti cerita-cerita yang jarang ditemukan dalam Bahasa Inggris, mengingat luasnya cakupan queer di Indonesia pada masa lalu dan masa kini.

BC: Bagaimana proyeknya secara keseluruhan? Bagaimana kemitraan ini berjalan?

AP: Proyek ini merupakan kontribusi penting terhadap tujuan Anamot Press, yaitu menerbitkan Queer Experiences Across Borders dan mendorong dialog lintas batas. Saya sangat senang mendapat kesempatan berkolaborasi dengan Norman Erikson Pasaribu. Kami berdua mencurahkan banyak energi untuk proyek ini. Kami merasa ini adalah kesempatan yang penting dan relatif langka untuk menyoroti cerita-cerita queer dari Indonesia dan memproduksi sebuah antologi.

BC: Bagaimana Anda membangun kepercayaan dengan kolaborator Anda saat menjalankan proyek secara digital dan jarak jauh?

AP: Dengan mengadakan pertemuan daring dan surel rutin. Memang ada beberapa hal yang luput dikomunikasikan, karena memang tidak mungkin mengadakan lebih banyak pertemuan mengingat keterbatasan pendanaan dan komitmen kami yang lain. Namun, memastikan kami mengetahui apa yang ingin kami capai dengan publikasi ini, karya-karya seperti apa yang ingin kami komisi, serta kejelasan peran dan tanggung jawab kami masing-masing membantu kami untuk tetap menjaga akuntabilitas satu sama lain.

BC: Momen apa yang paling menarik selama proyek berlangsung?

AP: Banyak momen seru yang kami alami saat mendiskusikan tema dan kontributor siapa saja yang hendak kami komisi. Kami berdua tertarik dengan pengarsipan queer dan cerita para tetua queer. Saya pribadi sangat tertarik pada makanan. Kami akhirnya membuat serangkaian puisi dan esai yang mencakup tema seputar sejarah, makanan, dan identitas queer.

BC: Bisakah Anda berbagi dengan kami wawasan baru yang Anda pelajari dari proyek ini?

AP: Saya belajar banyak dari Norman tentang dunia penerjemahan, beberapa komunitas queer, serta hal-hal menarik yang terjadi di Indonesia. Saya berbagi tentang beberapa penulis diaspora yang saya sukai di Inggris, dan kerjasama Anamot Press dengan komunitas diaspora secara umum.

Saya ingin melakukan proyek serupa dengan melihat negara dan komunitas lain seperti Armenia. Secara keseluruhan, kemitraan ini luar biasa. Kami bekerja dengan saling hormat, bertanggungjawab, bergembira, berbagi tantangan, dan terlibat dalam banyak pembicaraan dan tawa queer (meskipun melalui surel).

BC: Apa yang paling Anda nantikan sekarang? Adakah potensi proyek atau kemitraan baru yang ingin Anda jelajahi?

AP: Kami tak sabar menyebarkan antologi ini kepada pembaca di seluruh dunia dan mengadakan acara untuk merayakannya, kemungkinan besar di Toko Buku Transit di Jakarta. Saya ingin sekali mengeksplorasi lebih banyak kerja sama dengan toko buku dan ruang queer di sana, mengunjungi dan berkoneksi dengan komunitas Queer Indonesian Archives (yang juga terlibat dengan proyek kami).

Jika pendanaan memungkinkan, saya juga ingin menjajaki berbagi lebih banyak pengetahuan dan pengalaman dengan penerbit lain di Indonesia untuk mengeksplorasi tema dan tantangan serupa dengan Anamot Press sebagai penerbit independen Queer Experiences Across Borders.