Menyadari betapa kecilnya visibilitas dan peluang yang dimiliki para penari penyandang disabilitas di Indonesia, We Are Epic berkolaborasi dengan Nalitari dan Ballet.ID untuk menghubungkan 137 penari penyandang disabilitas di seluruh Indonesia ke berbagai organisasi seni inklusif.
CATATAN: Artikel ini diterjemahkan dan diadaptasi dari postingan blog We Are Epic.
Dunia bertabrakan saat Penari Epic Arts dari Kamboja mendarat di Indonesia untuk tampil di ASEAN Para Games pada bulan Oktober 2022. Perjalanan ini sangat tepat waktu karena terjadi di saat yang hampir bersamaan dengan proyek terbaru kami di Indonesia.
Jika Anda tidak tahu latar belakang kami, Epic Arts menginspirasi kami untuk mendirikan We Are Epic pada tahun 2016. Kami telah menjalankan proyek seni inklusif di Indonesia sejak tahun 2018.
Saat menyaksikan pembukaan ajang olahraga tersebut, kami memperhatikan bahwa Epic Arts adalah satu-satunya kontingen penari penyandang disabilitas. Dari perspektif seni inklusif Inggris, hal ini mungkin tampak mengejutkan. Bagaimana mungkin sebuah acara regional disabilitas hanya menampilkan sedikit penari penyandang disabilitas dalam upacaranya? Meskipun terbatasnya representasi seniman penyandang disabilitas ini bukanlah kejutan bagi kami, hal ini cukup membuat kami tidak nyaman.
Pada titik itu kami hendak memulai proyek seni internasional baru, Discovering Disabled Dance Talent Across Indonesia, didanai oleh British Council dan bertujuan untuk mengatasi kurangnya inklusi dan keterwakilan penari penyandang disabilitas.
Menemukan bakat tari penyandang disabilitas lintas Indonesia
Kira-kira sejak satu tahun terakhir, kami terus mengejar peluang dan kolaborasi baru untuk proyek-proyek seni internasional. Namun, terbatasnya informasi dan jaringan di Indonesia terus membuat kami tersandung—sebuah sentimen yang telah kami diskusikan secara panjang lebar dengan rekan kami di Indonesia, Nalitari.
Dengan pemikiran ini, kami berupaya untuk memahami lebih jauh lanskap tari penyandang disabilitas di Indonesia. Intinya, kami ingin mengetahui di mana para penari penyandang disabilitas berada dan karya seperti apa yang mereka ciptakan.
Kami didanai oleh British Council melalui hibah Connections Through Culture untuk melakukan proyek penelitian selama tiga bulan.
Selain menjawab pertanyaan kami, kami juga berfokus pada masa depan. Kami tidak ingin proyek ini hanya menghasilkan dokumen. Kami ingin membangun sesuatu yang terus berkesinambungan—sesuatu yang dapat menyatukan para penari penyandang disabilitas dan organisasi inklusif.
Ketika proyek ini dimulai, belum ada jaringan resmi yang aktif untuk penari penyandang disabilitas di Indonesia. Setelah berdiskusi dengan dua mitra tari Indonesia, Nalitari dan Ballet.ID, kami menemukan bahwa dulu pernah ada jaringan tari inklusif. Sayangnya jaringan itu sudah tidak aktif saat ini.
Mengembangkan dan memimpin jaringan baru sebagai bagian dari proyek merupakan hal yang menarik bagi mitra kami di Indonesia. Jadi langsung saja kami memulainya.
Kami bekerja sama dengan Nalitari dan Ballet.ID untuk mengembangkan pemetaan awal dan melakukan survei. Kami mengawali uji coba survei ini di empat pulau terbesar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa. Kami mengumpulkan informasi secara online untuk dapat menjangkau komunitas terpencil.
Apa yang kami temukan tentang para penari penyandang disabilitas?
Tim peneliti menemukan sejumlah total 137 orang penari penyandang disabilitas.
Lebih dari 75% melaporkan bahwa mereka berlatih menari sebagai hobi dan tidak menganggap diri mereka profesional, karena toh mereka tidak dibayar untuk kegiatan tersebut.
Sebagian besar penari penyandang disabilitas mempraktikkan tari tradisional, disusul tari kontemporer dan hip hop. Ada juga penari penyandang disabilitas yang berlatih balet, jazz, teater, dan tari tutur visual.
“Masyarakat di Indonesia masih memandang penyandang disabilitas sebagai orang yang tidak mampu, dan seolah kami orang asing,” kata mereka.
Merasa terisolasi dan ditolak oleh masyarakat arus utama dan platform pada umumnya, mereka menyadari bahwa mereka tidak diterima di sekolah tari, komunitas tari, atau bahkan di acara teman dan keluarga mereka sendiri.